“Hormatilah ayahmu dan ibumu — ini adalah suatu
perintah yang penting, seperti yang nyata dari janji ini:” (Ef 6:2)
Seorang pria tua yang lemah pergi untuk
tinggal bersama putranya, menantunya dan cucunya yang baru berumur 5 tahun.
Tangan pria itu senantiasa gemetaran karena stroke, penglihatannya sudah mulai
buram akibat penyakit diabetesnya. Keluarga tersebut makan malam bersama di
satu meja. Tetapi naas bagi pria tua tersebut di karenakan pandangannya yang
buram dan tangannya yang senantiasa gemetaran menyulitkan ia untuk menyantap
makanannya. Kacang polong berjatuhan dari sendoknya dan berserakan di lantai,
ketika meraih gelas untuk minum susu ternyata gelas tersebut terjatuh dan air
susu membasahi taplak di karenakan gugup ia pun tak sengaja menjatuhkan piring
kelantai.
Putra dan menantunya merasa terganggu dengan
“kekacauan” itu. “Kita harus
melakukan sesuatu” kata anaknya, “Aku sudah bosan melihat susunya yang tumpah,
makannya yang berisik dan makanan yang berserakakan di lantai”. Maka suami itu
menyiapkan meja dan kursi kecil di sudut ruangan, kakek itu makan sendirian
disana sedangkan anak, menantu dan cucunya menikmati makan malam. Semenjak
memecahkan piring dan gelas maka alat makan pria itu di ganti dengan mangkuk
dan gelas yang terbuat dari kayu. Ketika keluarga itu melirik ke arah kakek
itu, tampak airmata terlinang dari mata sang kakek dan membasahi pipinya. Namun
apa yang diperoleh sang kakek ia tetap mendapat hardikan dan hinaan dari anak
dan menantunya karena kakek itu masih saja menjatuhkan sendok dan garpunya.
Cucunya memperhatikan situasi tersebut dengan seksama dalam diamnya yang penuh
makna.
Suatu sore, sebelum makan malam, ayah dan ibu
itu melihat anaknya bermain dengan potongan kayu di lantai. Sang ayah bertanya
dengan lembut, “Sedang membuat apa?” Dengan kelembutan yang sama anak itu
menjawab “Oh, aku sedang membuat mangkuk kecil untuk tempat makan ayah dan ibu
kalau aku sudah besar nanti” anak berumur 5 tahun itu tersenyum dan kembali
bekerja. Kata-kat itu sedemikian menyentak, sehingga pasangan itu tidak mampu
berkata-kata. Lalu airmata mereka mulai mengalir dan membasahi kedua pipi mereka.
Meskipun tidak ada kata yang terucap, keduanya tahu apa yang harus di lakukan.
Malam itu, si suami menggamit tangan kakek
itu dan dengan lembut membawanya kembali ke meja makan keluarga. Selama sisa
hidupnya, kakek itu menikmati makanannya bersama keluarga itu. Dan karena
alasan tertentu, suami-istri itu sepertinya tidak lagi memperhatikan garpu yang
jatuh, susu yang tumpah atau taplak meja yang kotor.
Anak memang cepat sekali belajar, mata mereka
selalu mengamati, telinga mereka selalu mendengar dan pikiran mereka selalu
memproses pesan yang mereka terima. Kalau mereka melihat kita dengan sabar
menciptakan suasana rumah yang menyenangkan bagi seluruh anggota keluarga,
mereka akan meniru sikap itu sepanjang sisa hidup mereka. Orangtua yang
bijaksana menyadari bahwa setiap hari, mereka memasang fondasi untuk masa depan
si anak. Marilah memasang fondasi itu dengan bijaksana dan menjadi tokoh
panutan yang baik bagi mereka.
0 komentar:
Post a Comment