Add caption |
Kutelusuri
jalan setapak menuju danau kesunyian, berharap sang waktu datang menghampiri
dan membawaku kembali pada satu masa dimana duka tak rajin menjamah. Bertemankan
terang cahaya rembulan kumenerobos pekatnya malam untuk sekedar membuang penat
dalam pikiranku. Dalam setiap langkah alam pikirku bercerita tentang kegundahan
anak dan istriku, tentang hidup dan kehidupannya, tentang bagaimana mereka akan
tercukupi hajat hidupnya…tentang…dan…tentang…ah…nafasku terengah kala ku lihat
wajah ceria mereka, akankah aku dapat bertahan dalam himpitan kehidupan ini?
ataukah aku akan kalah oleh rasa keputusasaan ini?
Takterasa
akhirnya aku tiba juga di danau kesunyiaan ini, mataku berbinar mankala kulihat
rembulan yang begitu bercahaya menerangi malam yang pekat. Cahayanya
menimbulkan percikan perak keindahan yang membuat hati takjub manakala
memandangnya. Dari kejauhan nampaklah oleh mataku seorang pria yang sedang
asyik memancing diketepian, begitu khusyuknya ia dengan alat pancingnya hingga
tak menghiraukan dinginya malam ini. Manakala cahaya rembulan menembus dedaunan
pohon yang rindang yang berada tak jauh dari kiri pandanganku tampak jelas
kulihat sepasang muda-mudi yang tampak sedang asyik memadu kasih. Ternyata
malam yang hening ini tak menyimpan kesunyian, ia masih menyinpan keceriaan
didalamnya.
Aku
memilih diam dalam keheningan dan membenamkan diri di kedalaman alam perenungan
dan berharap tersambungkan pada benang-benang kisah kehidupanku serta mencari
apa penyebab dari kesuraman ini. Ditengah ketidak mengertian, aku merasakan
keheranan mengapa pada saat bahagia hatiku merasakan kebahagiaan. Dikala sedih
hatiku merasakan duka yang dalam dan manakala kegagalan demi kegagalan datang
menerkam, hatiku merasakan keputusasaan. Apakah aku terlahir untuk selalu
mengalami kegagalan? Mengapa kah nasib selalu mempermainkan hidupku? Aku tak
mengerti dengan jalan hidupku, apabila kumelihat orang-orang besar beroleh
kesuksesan hatiku berdecak penuh kekaguman, mengapa mereka bisa dan mengapa aku
selalu gagal?. Aku telusuri relung jiwaku untuk beroleh hikmat dari kegagalan
demi kegagalan dalam hidupku, dan ku bandingkan dengan sebuah keberhasilan
seorang Thomas Alfa Edison yang telah menerangi bumi di malam gelap dengan
penemuan bola lampunya. Dan aku berandai-andai, apabilakah ia berhenti pada
percobaannya yang ke 999 pastilah ia tidak akan pernah dapat menerangi bumi di
malam yang gelap. Apa yang kulihat darinya? Ia memiliki hati yang kokoh untuk
terus melangkah mewujudkan mimpinya. Dan ku lihat dalam diriku? Betapa
kerdilnya hatiku, hanya karena mimpiku terpotong oleh kisah kegagalan, lantas
aku terjatuh dalam jurang kepasrahan yang fatalisme tanpa mampu menumbuh
bangkitkan hasrat jiwa meraih impian menjadi kenyataan. Sungguh, aku telah
memiliki hati seluas daun talas dan sedalam air dalam tempayan, padahal
seharusnya aku memiliki hati seluas bumi dan sedalam lautan, bahkan seharusnya tanpa
batas.
Malam
semakin larut dan dinginya malam telah semakin menyelimuti setubuhku, aku pun
bangkit dan memutuskan untuk kembali ke rumah. Kutelusuri jalan raya yang kini
telah benar-benar sunyi senyap, pertokoan dan kios-kios kecilpun telah menutup
kerajaan bisnisnya. Namun pada pinggiran toko aku melihat begitu banyak
orang-orang yang tidur begitu pulasnya padahal tak berselimutkan kain, hanya
terbungkus karung-karung bekas beras entah karung bekas pembungkus terigu aku
tak memahaminya.Orang-orang menyebut mereka kaum tunawisma ataupun kaum yang
terpinggirkan. Namun yang aku pahami hanyalah kesedihan yang mendalam di dalam
hatiku, tak terasa airmataku berlinang dan aku berkata kepada hatiku, lihatlah
betapa hebatnya mereka berjuang untuk mempertahankan kehidupannya walau tak
memiliki tempat berteduh namun lihat! Wajah-wajah mereka masih menyimpan
sukacita dan kedamaiaan, lihatlah air muka kebahagiaan mereka. Aku seakan
terbangunkan dalam mimpi panjangku, betapa aku harus lebih bersyukur masih memiliki
tempat berteduh walaupun kini harus mengontrak dan tak lagi memiliki tempat
sendiri. Mengapakah aku masih menengok kebelakang pada masa “kejayaanku” dimana
dalam kenyamaan hidupku dimasa itu tak terasa aku telah terjatuh dalam lembah
“kesombongan” dan “keangkuhan” dimanakah hati seorang hamba berada disaat
itu?...betapa hati dan jiwaku kerdil hanya melihat pada masalah tanpa melihat
pada siapa yang empunya langit dan bumi ini….
0 komentar:
Post a Comment