Home » » HATI YANG KERDIL

HATI YANG KERDIL



Add caption
Aku tak mengerti dalam menjalani kehidupan ini kini kurasakan kehampaan dan kekosongan hinggap dalam perjalanan hidupku. Aku tak percaya apakah ini sebuah mimpi? Mengapa semua seperti ini? jiwaku terasa hampa dan pikiranku terasa sempit. Kemanakah kawanku dimanakah para sahabat? Hanya kesedihan dan gundah gulana yang menggelayuti relung batin. Semua sahabatku telah pergi bagai embun pagi yang menguap, tak satupun yang nampak hadir menemani masa dukaku. Ah….mengapa duka begitu cepat hadir, mengapa nestapa merangsak begitu cepat, bagaikan petir yang menyambar di siang bolong…aku kini dalam kesendirian melawan kepedihan ini.

Kutelusuri jalan setapak menuju danau kesunyian, berharap sang waktu datang menghampiri dan membawaku kembali pada satu masa dimana duka tak rajin menjamah. Bertemankan terang cahaya rembulan kumenerobos pekatnya malam untuk sekedar membuang penat dalam pikiranku. Dalam setiap langkah alam pikirku bercerita tentang kegundahan anak dan istriku, tentang hidup dan kehidupannya, tentang bagaimana mereka akan tercukupi hajat hidupnya…tentang…dan…tentang…ah…nafasku terengah kala ku lihat wajah ceria mereka, akankah aku dapat bertahan dalam himpitan kehidupan ini? ataukah aku akan kalah oleh rasa keputusasaan ini?

Takterasa akhirnya aku tiba juga di danau kesunyiaan ini, mataku berbinar mankala kulihat rembulan yang begitu bercahaya menerangi malam yang pekat. Cahayanya menimbulkan percikan perak keindahan yang membuat hati takjub manakala memandangnya. Dari kejauhan nampaklah oleh mataku seorang pria yang sedang asyik memancing diketepian, begitu khusyuknya ia dengan alat pancingnya hingga tak menghiraukan dinginya malam ini. Manakala cahaya rembulan menembus dedaunan pohon yang rindang yang berada tak jauh dari kiri pandanganku tampak jelas kulihat sepasang muda-mudi yang tampak sedang asyik memadu kasih. Ternyata malam yang hening ini tak menyimpan kesunyian, ia masih menyinpan keceriaan didalamnya.

Aku memilih diam dalam keheningan dan membenamkan diri di kedalaman alam perenungan dan berharap tersambungkan pada benang-benang kisah kehidupanku serta mencari apa penyebab dari kesuraman ini. Ditengah ketidak mengertian, aku merasakan keheranan mengapa pada saat bahagia hatiku merasakan kebahagiaan. Dikala sedih hatiku merasakan duka yang dalam dan manakala kegagalan demi kegagalan datang menerkam, hatiku merasakan keputusasaan. Apakah aku terlahir untuk selalu mengalami kegagalan? Mengapa kah nasib selalu mempermainkan hidupku? Aku tak mengerti dengan jalan hidupku, apabila kumelihat orang-orang besar beroleh kesuksesan hatiku berdecak penuh kekaguman, mengapa mereka bisa dan mengapa aku selalu gagal?. Aku telusuri relung jiwaku untuk beroleh hikmat dari kegagalan demi kegagalan dalam hidupku, dan ku bandingkan dengan sebuah keberhasilan seorang Thomas Alfa Edison yang telah menerangi bumi di malam gelap dengan penemuan bola lampunya. Dan aku berandai-andai, apabilakah ia berhenti pada percobaannya yang ke 999 pastilah ia tidak akan pernah dapat menerangi bumi di malam yang gelap. Apa yang kulihat darinya? Ia memiliki hati yang kokoh untuk terus melangkah mewujudkan mimpinya. Dan ku lihat dalam diriku? Betapa kerdilnya hatiku, hanya karena mimpiku terpotong oleh kisah kegagalan, lantas aku terjatuh dalam jurang kepasrahan yang fatalisme tanpa mampu menumbuh bangkitkan hasrat jiwa meraih impian menjadi kenyataan. Sungguh, aku telah memiliki hati seluas daun talas dan sedalam air dalam tempayan, padahal seharusnya aku memiliki hati seluas bumi dan sedalam lautan, bahkan seharusnya tanpa batas.      

Malam semakin larut dan dinginya malam telah semakin menyelimuti setubuhku, aku pun bangkit dan memutuskan untuk kembali ke rumah. Kutelusuri jalan raya yang kini telah benar-benar sunyi senyap, pertokoan dan kios-kios kecilpun telah menutup kerajaan bisnisnya. Namun pada pinggiran toko aku melihat begitu banyak orang-orang yang tidur begitu pulasnya padahal tak berselimutkan kain, hanya terbungkus karung-karung bekas beras entah karung bekas pembungkus terigu aku tak memahaminya.Orang-orang menyebut mereka kaum tunawisma ataupun kaum yang terpinggirkan. Namun yang aku pahami hanyalah kesedihan yang mendalam di dalam hatiku, tak terasa airmataku berlinang dan aku berkata kepada hatiku, lihatlah betapa hebatnya mereka berjuang untuk mempertahankan kehidupannya walau tak memiliki tempat berteduh namun lihat! Wajah-wajah mereka masih menyimpan sukacita dan kedamaiaan, lihatlah air muka kebahagiaan mereka. Aku seakan terbangunkan dalam mimpi panjangku, betapa aku harus lebih bersyukur masih memiliki tempat berteduh walaupun kini harus mengontrak dan tak lagi memiliki tempat sendiri. Mengapakah aku masih menengok kebelakang pada masa “kejayaanku” dimana dalam kenyamaan hidupku dimasa itu tak terasa aku telah terjatuh dalam lembah “kesombongan” dan “keangkuhan” dimanakah hati seorang hamba berada disaat itu?...betapa hati dan jiwaku kerdil hanya melihat pada masalah tanpa melihat pada siapa yang empunya langit dan bumi ini….   


0 komentar:

Post a Comment

Blog Rankings

Arts Blogs - Blog Rankings