Tahun
ini merupakan tahun yang berat bagi kami, tidak seperti biasanya musim kemarau
tiba lebih cepat. Bulan- bulan ini seharusnya masih musim penghujan, namun
perubahan iklim yang sangat ekstrim tengah terjadi sehingga kini cuaca pun
berubah cepat tak terduga. Desa Sakerti yang terletak tepat di kaki gunung
Selayu, merupakan sebuah desa penghasil produk pertanian dan perkebunan kedua
terbesar bagi kecamatan Selawi, Kabupaten Sekajang. Namun Sudah tiga bulan ini
desa kami belum mendapatkan hujan, yang menyebabkan areal persawahan menjadi
kering, perkebunan tak dapat menghasilkan buah, dan ancaman kelaparan
menghantui sebagian besar penduduk desa. Profesi dari penduduk desa Sakerti 90%
disektor pertanian, perkebunan, perternakan dan perikanan. Berbagai cara telah
di upayakan, dari berdoa bersama memohon hujan, memperdalam sumur untuk
mendapatkan sumber air dan juga meminta bantuan pada pemerintahan setempat.
Namun belum mendatangkan hasil dan bantuan pemerintah yang kami harapkan segera
datang pun ternyata tak ada. Kami bahu-membahu secara swadaya melakukan segala
cara agar kekeringan ini tidak berlanjut dan yang utama untuk saat ini adalah
pemenuhan air bersih. Dimana pasokan air sudah semakin menipis bahkan
sumur-sumur milik masyrakat sebagian telah mengalami kekeringan. Didesa kami
sebenarnya memiliki empat titik sumber mataair yang bagus debitnya, namun kini
yang masih mengeluarkan air tinggal mataair Brojol wulan. Yang letaknya di
lereng bukit dan berjarak sekitar lima belas kilometer dari balai desa. Dan
debit airnya pun kini semakin berkurang, kemungkinan hanya dapat bertahan
hingga beberapa minggu ke depan. Kami kini hanya pasrah saja dan taktahu harus
berbuat apalagi dalam menghadapi persoalan ini.
Sementara
itu, dari balik hutan tampak terlihat seorang ibu dengan jalan tertatih-tatih
sambil menggendong beberapa kayu bakar di punggungnya serta membawa pompa air
di tangan kanannya. Hari belumlah pertengahan masih terbilang pagi, namun
cuacanya terasa sangat begitu terik. Dari balik wajahnya terlihat jelas rasa
lelah, bibirnya pun pecah-pecah dan warna kulitnya berubah hitam, akibat
terbakar sinar mathari. Saat memasuki areal jalan setapak yang merupakan akses
jalan alternatife menuju lapangan sepakbola, secara tak sengaja kami pun
berpapasan. Saya yang saat itu sedang mengendarai sepada motor berhenti sejenak
untik memberikan ibu tersebut lewat,
“
Maaf ibu, saya mengganggu perjalananannya, jikalau tidak keberatan bagaimana
kalau saya antar ke rumah ibu?” Sahutku sambil menawarkan tumpangan,
“Oh
nak Agus, nggak usah nak, terimakasih. Rumah ibu tinggal beberapa meter lagi
dari sini” Sahut ibu
“Tapi
bu Aminah, saya ingin meringankan beban bawaannya dan juga hari sangat terik,
tentunya ibu sangat kelelahan” Aku pun memberikan alas an,
“Benaran
nak Agus, nggak apa-apa, sekali lagi terimakasih” Ibu Aminah pun tetap pada
pendiriannya.
Melihat
hal seperti itu aku pun memohon pamit dan melanjutkan perjalanan, dalam hati
aku kagum akan kegigihan ibu Aminah yang begitu ulet berjuang dalam hidupnya.
Ibu Aminah adalah seorang janda dan memiliki seorang anak perempuan yang baru
berusia delapan tahun, suaminya telah meninggal lima tahun yang lalu di
karenakan sebuah kecelakaan lalulintas. Dimana suami ibu Aminah bekerja sebagai
buruh pabrik di kota kecamatan, disaat usianya menjelang paruh baya keluarga
ini baru di karuniakan seorang anak. Sungguh sebuah penantian yang panjang
dimana mereka selama lima belas tahun menantikan keturunan, akhirnya doa mereka
terjawab. Sepeninggal suaminya ia bekerja sebagai buruh tani dan juga berjualan
gorengan keliling kampung. Aku benar-benar kagum akan ketaatan, kesabaran dan
iman yang begitu besar yang di miliki oleh ibu Aminah dan keluarga.
“Selamat
siang sayang, tumben sudah pulang sekolah” Ibu Aminah menyapa anaknya dengan
lembut manakala dilihatnya, sedang duduk di bale-bale depan rumahnya.
“Selamat
siang ibu, tadi gurunya ada rapat jadi Sita pulang lebih awal” Jawab anaknya
sambil menjelaskan, kemudian, “Ibu aku lapar, adakah makanan yang dapat kita
makan?”
“Oh,
ada rapat toh!, Sabarlah yah nak! Sebentar ibu buatkan makanan untukmu,
sementara itu engkau minumlah dahulu” Sahut ibunya, menenangkan anaknya sambil
memberikan minuman yang tersimpan di kendi,
Kemudian
Ibu Aminah pun ke dapur untuk mempersiapkan makanan. Ia lihat ke tempayan
tempat simpanan berasnya ternyata sudah hamper habis, hanya cukup untuk hari
ini saja dan lauk yang tersisa tinggal satu ekor ikan asin sepat. Tidak ada
garam, kecap, minyak goreng bahkan bumbu dapur. Bagaimana ini Tuhan, persediaan
uangpun sudah tidak ada, apakah aku harus kembali meminta bantuan ibu Amir
pemilik kios dengan berhutang kembali? Manalah ia akan memberikan, karena
hutang ku yang lalu saja bemlum dapat aku lunasi. Kemarin pun aku sudah
mencobanya dan ia tidak memberikan keringanan malah yang kudapat hanyalah
hinaan dan cacian, aku pun taktahu harus bagaimana lagi, modal untuk jualan
tidak ada lagi telah habis terpakai untuk berobat Sisca tempo hari, lengkap
sudah susah ku hari ini…pikirnya. Tapi aku tak boleh mengeluh, biarlah
kesusahan hari ini menjadi kesukaran untuk hari ini dan aku yakin pasti akan
ada jalan keluarnya. Kemudian ia pun mencuci beras dan memasak beras
tersebut dan ikan asinya ia bakar di atas bara api. Sambil menunggu makanannya
matang, ia pun mengajak Sisca bermain di halaman depan rumahnya.
Sedang Ibu Aminah bersenda gurau bersama anaknya, datanglah seseorang
dan mendekati mereka, kemudian orang asing itupun berbicara kepada mereka,
“Selamat siang, mohon maaf apabila saya mengganggu kalian”
“Selamat siang pak, maaf bapak ini siapa dan ada keperluan apakah?” Ibu
Aminah pun bertanya, sambil hatinya agak khawatir dan ia pun langsung
menggendong Sisca,
“Aku ini seorang musafir yang mengembara, tujuanku adalah hendak ke desa
Kulon Hanaya yang berada di balik gunung Saluyu. Aku kelelahan dan bermaksud
menumpang istirahat sejenak, dan berharap mendapatkan segelas air putih sebagai
pelepas dahaga” Musafir itu pun menjelaskan,
“Baiklah bapak, silahkan istirahatlah dahulu di bale-bale ini dan aku
akan ambilkan air putih untuk engkau minum” Jawab Ibu Aminah sambil berlalu
kedalam rumah untuk mengambilkan air putih,
Tak lama kemudian ibu Aminah pun tiba, sambil menyodorkan segelas air
putih ia pun meletakan kendi tempat air minum, sambil berkata,
“Bapak silahkan di minum air putihnya, mudah-mudahan dapat melepaskan
dahaga”
“Oh terimakasih anakku, engkau baik, sungguh baik” Ucap sang Musafir
kemudian “Emmh…wangi apakah ini sungguh
sedap tercium”
“Oh itu, kami sedang masak nasi dan ikan asin bakar” Jawab ibu Aminah,
“Bolehkah engkau memberikan aku sepiring nasi, sebab aku sangat
kelaparan dikarenakan perutku belum terisi” Pinta sang Musafir,
Bagaimana ini? sedangkan anakku saja sedang lapar dan ini adalah
persediaan kami yang terakhir setelah ini habis, kami tentunya akan mati
kelaparan, pikir hatinya, kemudian Ibu Aminah pun berkata,
“Demi Allah yang hidup! Ini pun adalah persediaan kami yang terakhir dan
kami tak tahu setelah persediaan ini habis, apa yang hendak kami makan. Namun,
demi Allah yang Mahamencukupi! Kami rela dan ikhlas untuk memberikannya kepada
engkau” Begitulah ucap ibu Aminah, lantas ia pun kembali ke dalam rumah dan ia
membawakan sepiring nasi beserta sepotong ikan asin bakar, sedangkan yang
tersisa tinggalah sedikit nasi yang hanya cukup untuk anaknya.
“Silahkan bapak, silahkan di makan”
“Terimakasih anakku, engkau sungguh baik”
Ibu Aminah pun sedikit bergeser agak menjauh dan menenangkan putrinya
dalam gendongan agar ia tidak teringat pada laparnya. Dengan bersenandung kecil
ibu Aminah berusaha keras menina bobokan putrinya.
“Anakku, terimakasih atas makanan, minuman dan tumpangannya. Namun
bolehkah aku meminta satu permintaan kepada engkau sebelum aku melanjutkan
perjalanan?” Setelah mengucapkan terimakasih, iapun memohonkan satu permintaan
kepada ibu Aminah.
“Sama-sama bapak, apakah permintaan engkau ya bapak?” Jawabnya,
“Aku hendak meminta sedikit bekal makanan untuk perjalananku, apakah
dapat engkau memberinya?”
“Dapat bapak, aku akan siapkan bekal untuk mu berupa makanan dan minuman,
namun hanya nasi saja yang tersisa padaku tanpa lauknya” Jawab ibu Aminah
dengan penuh kejujuran
“Tidak apa-apa anakku, sungguh engkau berhati mulia” Sahut sang Musafir,
Tidak lama kemudian ibu Aminah kembali dan memberikan bungkusan yang
berupa makanan dan minuman malah ia tambahkan dengan sebuah sarung bekas
peninggalan almarhum suaminya.
“Terimaksih anakku, engkau baik sekali. Sejak pagi aku berkeliling
kampung dan hanya engkau yang mau menerimaku dengan tangan terbuka dan
memberikan aku makan dan minum, bahkan engkau memberikan kelebihan dari semua
hasil yang ada padamu” sang Musafir pun berucap, lalu, “Aku tahu keadaanmu,
engkau pun dalam kesulitan namun mengapa masih mau berbagi padaku, dan sesungguhnya
engkau telah jujur pada dirimu sendiri”
“Sama-sama bapak, aku tahu bagaimana keadaanku kini dan yakin Ia yang
Mahamencukupi pasti akan memberikan kecukupan. Dan aku pun sangat yakin
kepada-Nya, bahwa engkau ya bapak, engkau adalah manusia yang Ia utus kepadaku
dan lewat aku, engkau beroleh pertolongan. Aku tak mengkhawatirkan bagaimana
aku dan anakku kelak makan, dan persedian yang ada pada kami hanyalah titipan
dari-Nya bukan milik kami” Ibu Aminah pun menjawab
“Begitu mulia hatimu anakku, aku adalah manusia biasa yang kebetulan
lewat di kampung ini. Aku berdoa kepada Dia yang hidup, agar memberi engkau
kecukupan dan Allah, memberikan keberhasilan dari apa yang engkau kerjakan
serta apa yang engkau katakan menjadi nyata” Doanya, kemudian Musafir itu mohon
diri dan berpamitan, ia pun kembali melanjutkan perjalanannya.
“Ibu….aku lapar, apa makananya telah masak?” Tanya putrinya setelah
terbangun dari tidur,
Ibu Aminah kaget luarbiasa dan ia pun bingung harus berkata apa, dan ia
membawa putrinya ke dalam untuk memberinya air minum, tetapi putrinya berkata,
“Ibu, wangi apakah ini? sedap sekali, masakan ibu sudah matang yah?”
“…???..” Hanya kebingungan yang ada di benak ibu Aminah, sebab wangi
makanan ini begitu menggoda rasa laparnya yang amat sangat. Namun siapakah
gerangan yang memasaknya? Sebab didapurnya sudah tidak terdapat makanan. Tetapi
wanginya berasal dari dapur dan untuk menghilangkan penasaran maka, ia pun ke
dapur dan takjublah ia akan apa sedang ia lihat. Sebab di atas pancinya
terdapat makanan yang terbungkus daung pisang, ia pun langsung menghampirinya
dan ia lihat disana terdapat pepes ikan mas, sayur dan lauk lainya, nasi yang
tadi habis ternyata telah berisi kembali. Kemudian ia tengok tempayannya
terpenuhi beras, buli-bulinya penuh dengan minyak. Ia begitu takjub melihat
semua ini dan ia sujud tersungkur kepada Tuhan, memuji serta bersyukur
kepada-Nya. Keajaiban telah terjadi dalam hidupku, namun siapakah gerangan
Musafir itu? Ia hanya yakin bahwa musafir itu adalah seorang utusan yang
disuruh Tuhan untuk mendatanginya.
AR. RAHADIAN/Arsy_Imanuel.Blogspot.com
0 komentar:
Post a Comment