Bagi
pengertian Kristen, Alkitab adalah satu-satunya sumber ajaran tentang Allah.
Dalam Alkitab kita menemukan penyataan Allah tentang diriNya sendiri.
I. Kata-kata Ibrani untuk Allah
a. ‘el, ‘eloah, ‘elohim
Sebutan el berakar pada suatu kata yang berarti kekuatan atau
tenaga. Dengan arti ini el digunakan dalam PL untuk manusia, dan secara abstrak
digunakan untuk benda, selain untuk Allah. Apabila mengacu kepada Allah, maka
kata itu sering dirangkai dengan julukan seperti ‘Yang Mahakuasa’, misalnya
el-shaddai, Allah Yang Mahakuasa, atau Maha sempurna. Kata eloah (jarang
digunakan kecuali dlm puisi) dan elohim juga digunakan; bentuk jamaknya,
elohim, lazim digunakan. Ada yang melihat penggunaan bentuk jamak ini sebagai
sisa politeisme, yang lain melihatnya sebagai tanda yang mengacu kepada
Trinitas. Tapi lebih mungkin ialah contoh penggunaannya yg lazim dalam bh
Ibrani, dimana penggunaan bentuk jamak dimaksudkan untuk mengintensifkan atau
memperluas gagasan yang dikemukakan dalam bentuk tunggal. Dengan demikian
elohim mengarahkan perhatian kepada kepenuhan Allah yg tak kunjung habis,
kepada kelimpahan hidup di dalam Allah.
b. Yahweh
Nama ini, sering ditulis Jehovah, diterjemahkan ‘TUHAN’ dalam
Alkitab terjemahan LAI. Yahweh adalah nama diri Allah, seperti Elohim adalah
nama umum bagi Allah. Jadi pada khususnya Yahweh adalah nama dari Allah yang
hidup yang dinyatakan oleh Alkitab. Asal mulanya tidak pasti, meskipun mungkin
berasal dari kata dasar hwh atau hyh, yang mengandung pengertian ‘eksistensi
yang mandiri dan tidak bermuasal’. Ketika pertama kalinya dinyatakan kepada
Musa dari nyala api yang keluar dari semak duri (Kel 3:11-15), api yang berasal
dari dirinya sendiri dan bukan dari sekelilingnya, adalah pertanda dari
eksistensi yang mandiri.
Penyingkapan Allah tentang arti nama ‘AKU ADALAH AKU’, atau
mungkin lebih tepat ‘AKU AKAN ADA YANG AKU AKAN ADA’, mengumumkan kesetiaan
Allah dan Allah yg tidak pernah berubah. Ia tetap sama, kemarin, hari ini dan
selama-lamanya. Sementara (Kel 6:4)
nampaknya mengemukakan bahwa nama Yahweh belum dikenal sebelumnya, sedang dalam
terang (Kej 15:7; 28:13) sudah diperkenalkan, maka (Kel 6:4) mengartikan bahwa Nama itu belum
dinyatakan sebelumnya dalam pengertian yang sebenarnya dan dalam makna kualitasnya.
Perlu diperhatikan bahwa dalam penyataan ini Yahweh menyatakan diriNya bukan
sebagai Allah yang baru atau Allah yang asing, sesungguhnya tidak ada yang
lain, kecuali ‘Yahweh, Allah nenek moyangmu’ (Kel 3:16).
c. ‘adonay
Ini juga bentuk jamak, mengacu kepada Allah sebagai penuh
kehidupan dan kuasa. Artinya ‘Tuhan’, atau dalam bentuknya yang lebih
diperkuat, ‘Tuhan dari segala tuan’, dan ‘Tuhan semesta’, yang menunjukkan
Allah sebagai Pemerintah yang kepada-Nya segala sesuatu tunduk dan kepada-Nya
manusia dihubungkan sebagai hamba (Kej 18:27*). Sebutan ini paling disukai oleh
para penulis Yahudi di kemudian hari, dan nama itulah yang diambil untuk
mewakili nama suci YHWH.
Anggapan bahwa pemakaian nama-nama ini menunjukkan adanya
perbedaan antara Allah yang lebih tinggi dan yang lebih rendah dalam pemikiran
penulis-penulis PL, tidak cocok dengan fakta-fakta, dan apabila hal itu
dijadikan patokan bagi penentuan sumber-sumber maka akan menyebabkan kekacauan
belaka. Memang penulis-penulis PL menekankan aspek-aspek yang berbeda tentang
sifat Allah, tapi hal ini tidak mendukung pandangan evolusioner tentang agama
Israel yang berkembang dari polidemonisme sampai kepada monoteisme.
Kecenderungan umum yang berlaku di Israel ialah arah yang sebaliknya, yaitu
mundur dari`monoteisme murni dan menerima pengaruh politeisme dari
bangsa-bangsa di sekitarnya. Walaupun terdapat perkembangan sejarah tentang
penyataan din Allah kepada Israel, sifat dasar dan tabiat-Nya tetap tidak
pernah berubah selama-lamanya.
Allah yang dinyatakan oleh Kitab Suci adalah Allah Yang Hidup,
berpribadi, yang sendirinya ada dan tidak dijadikan, sadar akan diriNya,
Pencipta alam semesta, Sumber kehidupan dan berkat. Kehidupan-Nya, sifat-Nya dan
kehendak-Nya adalah tema-tema pokok yg menjiwai pemikiran-pemikiran para
penulis Alkitab.
II. Keberadaan Allah
Adalah benar bahwa Alkitab tidak pernah membicarakan keberadaan
Allah terlepas dari sifat-sifat-Nya, karena Allah adalah Apa yg Ia sendiri
nyatakan tentang diriNya. Tapi adalah mungkin untuk memikirkan keberadaan Allah
dalam hubungan dengan keberadaan kita manusia, atau dari segi kesamaan maupun
kebalikannya, sekalipun hakikatnya tetap tak dapat dipahami. Dapat dikatakan
bahwa Allah adalah Roh, Roh Sejati, berpribadi dan tidak terbatas.
Menurut penyataan Kristus kepada wanita Samaria, Allah adalah Roh
(Yoh 4:24), dan kita harus memahami Dia sebagai Roh Sejati, dengan pengertian
bahwa Ia bukanlah kumpulan atau terdiri dari bagian-bagian, melainkan tanpa
tubuh atau wujud jasmaniah, dan justru tak dapat dilihat dengan indra jasmaniah
(Yoh 1:18*).
Alkitab juga jelas menyatakan bahwa Allah adalah Roh, berpribadi,
rasional, sadar akan diriNya, mengambil keputusan dari diriNya, dan pelaku
moral yang piawai. Allah adalah Akal yang tertinggi, dan sumber dari segala
rasionalitas yang ada dalam seluruh ciptaan-Nya.
Allah adalah Roh Yg Mahakuasa, tanpa ikatan dan batasan apa pun
atas keberadaan-Nya atau atas salah satu sifatNya, dan setiap aspek dan unsur
dari kodrat-Nya tidak terbatas. Terkait dengan waktu, ke-’tanpa-batas’-an-Nya
disebut kekekalan. Terkait dengan ruang atau tempat Ia disebut omnipresen
(hadir di mana-mana). Terkait dengan semesta alam Ia dinyatakan baik transenden
maupun immanen. Yang dimaksud dengan Allah yang transenden ialah,
keterlepasan-Nya dari seluruh ciptaan-Nya sebagai Pribadi yang berdaulat dan
bebas bertindak sendiri dan yg ‘ada hadir’ sendirinya. Ia tidak dikungkung oleh
alam, tapi tanpa batas Ia diagungkan di atasnya. Bahkan bagian-bagian Alkitab yang
secara khas menyingkap manifestasi-Nya yang temporal dan lokal menekankan
keagungan-Nya dan kemahakuasaan-Nya (omnipoten) sebagai Pribadi luar dunia,
Pencipta dan Hakim Yang Mahakuasa (bnd /TB Yes 40:12-17*).
Yang dimaksud dengan Allah yang immanen ialah kehadiran dan
kuasa-Nya yang senantiasa berlaku dalam ciptaan-Nya. Ia tidak berdiri jauh dari
dunia, tidak masa bodoh dan berpangku tangan menonton dari jauh hasil karya
ciptaan-Nya; Ia merasuki segala sesuatu yang organik dan yang anorganik,
bertindak dari dalam ke luar, dari titik pusat setiap atom dan dari sumber
paling dalam pikiran dan kehidupan dan perasaan, yaitu suatu rangkaian
bersinambungan, dari sebab dan akibat. Dalam /TB Yes 57:15* terdapat ungkapan tentang
Allah yg transenden sebagai ‘Yang Mahatinggi dan Yang Mahamulia, yang
bersemayam untuk selamanya dan Yang Mahakudus namaNya’, dan tentang Dia yang
immanen sebagai ‘Yang juga bersama-sama orang yang remuk dan rendah hati’.
III. Sifat-sifat Allah
Jika Allah adalah Pribadi, maka sebagai pelaku moral Ia memiliki
tabiat. Jadi kita dapat berbicara tentang sifat-sifat yang dapat dihubungkan
dengan tabiat Allah. Sekalipun tidak ada sifat yang dapat menjelaskan keadaan
Allah, namun sifat-sifat yang sedemikian banyak dikemukakan dalam Alkitab
memberikan penjelasan yang memadai tentang transendensi dan immanensi-Nya. Tapi
haruslah diingat bahwa sifat-sifat Allah adalah tercakup dalam keberadaan-Nya,
justru sifat-sifat-Nya itu adalah koeksistensif dengan kodrat-Nya.
Di dalam Allah sifat-sifat dan keberadaan adalah satu. Di dalam
manusia tidak demikian halnya. Sifat-sifat manusia — karena dia
makhluk — adalah terbatas. Di dalam manusia ada perbedaan antara
keberadaan, kehidupan, pengetahuan dan kemauan. Yang sangat kita harapkan ialah
keempat hal tersebut dapat berimbang. Dalam ihwal Allah, sifat-sifat-Nya tetap
berdaya rasuk dan masing-masing tidak terhingga dan tanpa batas. Sebagai
contoh, tak dapat dikatakan bahwa Allah adalah sebagian kasih dan sebagian adil
karena seantero diriNya adalah kasih dan sekaligus seantero diriNya adalah
adil. Setiap sifat Allah pada diriNya adalah Allah sendiri, dan Allah
diekspresikan sepenuhnya dalam setiap sifat-Nya itu. Manusia tetap manusia
sekalipun ia tidak memiliki salah satu sifat manusia tertentu: Allah bukanlah
Allah tanpa segenap sifat-Nya.
Adalah tepat membagi sifat-sifat Allah dalam dua jenis. Pertama,
sifat-sifat yg dapat dikomunikasikan atau diberikan atau diteruskan; dan yang
kedua, sifat-sifat yg tidak dapat dikomunikasikan (kadang-kadang disebut
sebagai ‘berhubungan’ dan ‘tidak berhubungan’). Sifat-sifat yg dapat
dikomunikasikan (dlm batas tertentu) kepada makhluk ciptaan-Nya yang berakal
dan berbudi pekerti, antara lain ialah: kebijaksanaan, kebaikan, kebenaran,
keadilan, kasih — yakni sifat-sifat yg menyatakan immanensi Allah.
Sifat-sifat yang tidak dapat dikomunikasikan atau diteruskan ialah:
kesempurnaan Allah yg tidak mempunyai kesamaan dalam (diri) manusia
— misalnya: Allah tidak diciptakan, tidak berubah, mahatahu, kekal
— yakni sifat-sifat yang menekankan transendensi-Nya. Kendati
demikian, sifat-sifat terakhir ini dapat dimengerti.
Yang dimaksud dengan ihwal ‘tidak diciptakan’, ialah Allah
mempunyai keberadaan-Nya sendiri — berbeda dari semua makhluk
ciptaan-Nya — Ia tidak menggantungkan keberadaan-Nya kepada yg ada
di luar diriNya sendiri.
Yang dimaksud dengan ketidakberubahan Allah, ialah Ia tidak
memiliki perubahan apa pun dalam diriNya, dalam kesempurnaan-Nya,
maksud-maksud-Nya dan janji-janjiNya. Semua saran tentang perubahan yg
ditujukan kepadaNya dalam Alkitab adalah kata-kata kiasan, yang disesuaikan
dengan sudut pandangan manusia biasa.
Yang dimaksud dengan keabadian-Nya, ialah Allah berada di atas
batas-batas waktu, tanpa awal dan tanpa akhir, dan tanpa pergantian waktu. Hal
ini akan lebih mudah dimengerti dengan mengingat bahwa waktu tidak ada baik di
dan oleh dirinya sendiri, dan hanyalah merupakan iringan dari kejadian. Dalam
Allah tidak ada waktu, tidak ada ‘menjadi’; Ia adalah yang kekal ‘Aku Ada’, dan
kekinian-Nya adalah kekal.
Yang dimaksud dengan kemahatahuan Allah dan kehadiran-Nya di
mana-mana, ialah bahwa Ia berada di atas batas-batas tempat dan ruang.
Pengetahuan Allah adalah bagian dari sifat-Nya dan tidak perlu dipelajari-Nya,
berbeda dari hal setiap manusia. Justru pengetahuan-Nya adalah mutlak lengkap
dan mutlak sempurna, dan mencakup waktu lampau, kini dan waktu yang akan
datang. Kemahatahuan-Nya menyertai kehadiran-Nya di mana saja, sebab
pengetahuan Allah meliputi kehadiran Allah di segala tempat dan ruang dan pada
segala waktu. Bukan bahwa Allah berada di mana-mana, melainkan di mana-mana
itulah Dia dan ada pada Dia. Lagipula, Ia utuh seluruhnya, bukan sebagian Dia
saja, hadir di mana-mana.
Yang dimaksud dengan kemahakuasaan Allah, ialah sesuatu yang
sangat berbeda dari kuasa yang ada pada manusia. Pada manusia kuasa adalah
usaha kemauan yang memanfaatkan atau menggunakan kuasa yang telah tersedia ada
sebelumnya; pada Allah kemahakuasaan adalah sifat yang memiliki daya cipta,
suatu ‘daya kemampuan’ menciptakan segenap karya ciptaan yang ada dari yang
tiada. Dalam Allah semua kuasa adalah kreatif.
Kekudusan dapat disebut sebagai sifat Allah yang paling khas,
kemilau dari segala keberadaan-Nya. Dan kekudusan-Nya-lah yang paling khas
memisahkan Dia dari segenap ciptaan-Nya — karena hanya Dia yang
kudus — dan itulah pula yang membuat Dia tidak terhampiri dalam
segala kesempurnaan-Nya. Kekudusan-Nya itulah semarak dan kemegahan intelektual
dan moral-Nya, kemurnian etis yang olehnya Ia menyukai kebaikan dan membenci
yang jahat.
IV. Kehendak Allah
Kehendak atau kemauan Allah terutama menyatakan ‘sifat menentukan sendiri’
yang olehnya Allah bertindak sesuai kemahakuasaan-Nya dan ke-Allah-an-Nya yang
abadi. Meskipun kehendak Allah tidak dapat dikatakan terbatas, kesempurnaan-Nya
memberikan keyakinan bahwa Ia tidak akan pernah melakukan sesuatu apa pun yang
bertentangan dengan tabiat-Nya. Para teolog membedakan kehendak Allah
memutuskan sendiri, yang dengannya Ia memutuskan sendiri apa pun yang terjadi,
dari kehendak-Nya menyuruh, yang dengannya Ia menugasi makhluk-makhluk-Nya
melakukan tugas-tugas yg harus mereka lakukan. Dapat dimengerti, bahwa kehendak
memutuskan sendiri selalu tuntas, sedangkan kehendak menyuruh sering tidak
ditaati. Jika kita memikirkan kedaulatan kuasa kehendak Allah, kita mengakui
bahwa kekuasaan tersebut memperlihatkan Allah sebagai dasar mutlak dari segala
keberadaan, dan dasar mutlak dari segala sesuatu yg pernah terjadi, atau secara
aktif menyebabkan sesuatu terjadi, atau secara pasif membolehkan sesuatu
terjadi. Jadi, masuknya dosa ke dalam dunia dikaitkan dengan kehendak Allah yg
bersifat membolehkan.
Ciri-ciri khas dari kehendak Allah ialah, di balik kehendak-Nya
terdapat kebijaksanaan dan kekudusan-Nya yang tidak terbatas, dan kehendak-Nya
itu dilaksanakan-Nya dengan penuh anugerah dan kebaikan, dan tindakan-Nya
dilakukan tanpa syarat atau secara mutlak sebab kehendakNya itu tidak
bergantung kepada sesuatu apa pun di luar Allah sendiri. Tujuan dari semuanya
ini adalah untuk kemuliaan-Nya, atau dapat dikatakan, manifestasi dari
kemuliaan-Nya di mana dalamnya terletak berkat sepenuhnya kepada
makhluk-makhluk-Nya.
Segi kehendak Allah yang paling sering disinggung dalam Alkitab
ialah tujuan-Nya yang berkuasa. Maksud dan tujuan Allah itu mencakup dan
meliputi semuanya. Ini sesuai dengan kodrat Allah yang hakiki, sebab
pengetahuan-Nya adalah langsung, serta merta dan lengkap, dan Ia tidak perlu
menunggu terbentangnya peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian, tidak
seperti manusia harus menunggunya. Jadi Ia sanggup mencakup segala hal dalam
satu rencana. Dikatakan bahwa tujuan-Nya adalah bebas, berkuasa dan tidak
berubah — bebas dalam arti bahwa Ia tidak dapat di bawah pengaruh
suatu apa pun atau oleh siapa pun di luar diriNya sendiri; Allah berkuasa sebab
Ia mempunyai kemahakuasaan untuk melakukan maksud-maksud-Nya; Allah tidak berubah
karena tidak ada perubahan dalam Allah, sebab perubahan mengacu kepada lemahnya
kebijaksanaan dalam membuat rencana, atau kurangnya kuasa melaksanakan sesuatu.
Justru dikatakan selanjutnya, sebab tidak akan ada keadaan darurat atau bahaya
di luar dugaan, dan tidak ada kekurangan dalam batas kemampuan, maka dalam Dia
tidak akan pernah ada penyebab mungkinnya terjadi perubahan.
Jika kita tidak mampu ‘memadankan’ kemahakuasaan Allah dengan
tanggung jawab manusia, maka ketidakmampuan itu adalah sebab kita tidak mengerti
pengetahuan Allah dan pemahaman-Nya tentang segala hukum yang menguasai tingkah
laku manusia. Seantero Alkitab mengajarkan, bahwa seluruh kehidupan manusia
dijalaninya atas topangan dan kekuatan yang berasal dari kuasa Allah ‘yang di
dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada’ (/TB Kis 17:28*), dan seperti
burung bebas bergerak di udara dan ikan bebas hidup di laut, masing-masing di
tempatnya yg sewajarnya, demikianlah manusia mempunyai kebebasan yang
sebenarnya dalam kehendak Allah yang menciptakan dia bagi diriNya.
V. Kebapakan Allah
Penyataan Kristen tentang Allah ialah Allah sesungguhnya adalah
Bapak. Sebutan itu paling sering dipakai oleh Yesus terhadap Allah. Dalam
teologi Kristen sebutan Bapak terutama mengacu kepada Oknum Pertama dari Tritunggal.
Tapi karena Oknum Pertama dianggap sebagai sumber dari Allah Yang Ilahi, yaitu
yang melambangkan martabat, kehormatan, dan kemuliaan Tritunggal, maka sebutan
Bapak kadang-kadang dipakai apabila menunjuk kepada Allah atau Allah Yang
Mahatinggi (bnd /1Pet 1:17; / Yak 1:27; juga / Yes 9:6, di mana Mesias disebut
‘Bapak yang kekal’ sebagai hunjukan kepada Allah Yang Mahatinggi).
Pengertian tentang Allah sebagai Bapak tidak berasal dari ajaran
Yesus, walaupun Ia memberikan kepadanya konsep baru dan dalam. Pemikiran ini
terdapat dalam PL dengan hubungan yang kreatif dan hubungan yang teokratif.
Hubungan dasariah Allah kepada manusia yang Ia ciptakan dalam gambar-Nya,
mendapat gambar padanan paling lengkap dan tepat pada hubungan alami itu yg
meliputi pemberian hidup. Maleakhi mengajukan pertanyaan, ‘Bukankah kita
sekalian mempunyai satu Bapak, bukankah satu Allah menciptakan kita?’ (/TB Yes
2:10*). Yesaya berseru, ‘Sekarang, ya Tuhan, Engkaulah Bapak kami! Kamilah
tanah liat dan Engkau-lah yang membentuk kami; dan kami sekalian adalah buatan
tanganMu’ (/TB Yes 64:8*).
Tapi dalam arti rohanilah terutama hubungan ini diajukan. Dalam
/TB Ibr 12:9* Allah disebut ‘Bapak segala roh’, dan dalam /TB Bil 16:22*
disebut ‘Allah dari roh segala makhluk’. Paulus, ketika berbicara dari atas
Areopagus, memakai pikiran ini untuk menekankan irasionalitas manusia rasional
yang menyembah berhala-berhala dari kayu dan batu, dengan mengutip penyair
Aratus (’ Karena kita juga adalah keturunan’) untuk menunjukkan bahwa manusia
adalah makhluk Allah. Jadi manusia sebagai makhluk adalah padanan dari
ke-Bapak-an Allah pada umumnya. Tanpa Bapak Pencipta tidak ada warga manusia,
tidak ada keluarga umat manusia.
Acuan atau sebutan Bapak dalam PL juga mengungkapkan hubungan
perjanjian Allah kepada umat-Nya, Israel. Dalam pengertian ini hubungan
tersebut adalah hubungan kolektif, bukan hubungan perseorangan. Israel sebagai
umat perjanjian adalah anak Allah, justru ditantang untuk mengakui dan
menanggapi hubungan Bapak — anak ini, ‘Jika Aku ini Bapak,
dimanakah hormat yang kepada-Ku itu?’ (/TB Mal 1:6*). Tapi karena hubungan
perjanjian itu bersifat menyelamatkan dalam pengertian rohaninya, hubungan ini
dapat dianggap sebagai pertanda penyataan ke-Bapak-an Allah dalam PB.
Dalam PB sebutan Bapak dipakai dalam pengertian khas dan sangat
pribadi. Kristus
memakainya terlebih dahulu, mengenai hubungan-Nya sendiri dengan
Allah. Terdapat bukti mencolok bahwa hubungan ini adalah unik dan tidak dapat
dibagikan dengan makhluk apa pun juga. Allah adalah BapakNya melalui kelahiran
yang kekal, istilah yang menggambarkan hubungan hakiki dan abadi. Adalah penuh
arti betapa Yesus dalam ajaran-Nya kepada ke-12 murid-Nya tidak pernah memakai
sebutan ‘Bapak kita’, mencakup baik diriNya dan murid-murid-Nya. Dalam
amanat-Nya setelah kebangkitan-Nya, Ia menunjukkan dua hubungan yg berbeda
yaitu ‘BapakKu dan Bapak-mu’ (/TB Yoh 20:17*); tapi kedua hubungan tersebut
terangkai sedemikian rupa, sehingga yang satu menjadi dasar bagi yang lain. Ia
sebagai Anak, meskipun dalam tingkat yang sama sekali unik, adalah dasar dari
status murid-murid sebagai anak.
Inilah hubungan yang menyelamatkan bagi semua orang percaya. Dalam
konteks penyelamatan, hal ini dilihat dari dua segi, yaitu dari kedudukan
mereka di dalam Kristus dan dari pekerjaan Roh Kudus yg membaharui di dalam
mereka. Dari segi pertama, mereka — dalam persekutuan yg hidup
dengan Kristus — diterima masuk ke dalam keluarga Allah dan dengan
demikian diberikan segala hak istimewa sebagai anak; ‘dan jika kita adalah
anak, maka kita juga adalah ahli waris’ (/TB Rom 8:17*). Dari segi kedua,
mereka dianggap sebagai dilahirkan ke dalam keluarga Allah melalui kelahiran
kembali. Yang pertama adalah segi obyektif, sedangkan yang kedua adalah aspek
subyektif. Oleh kedudukan mereka yang baru (pembenaran) dan hubungan
(pengangkatan) kepada Allah Bapak di dalam Kristus, mereka diikutsertakan dalam
kodrat ilahi (/TB 2Pet 1:4*) dan dilahirkan ke dalam keluarga Allah.
Jelaslah bahwa ajaran Yesus tentang ke-Bapak-an Allah, membatasi
hubungan itu terhadap umat-Nya yang percaya. Tidak pernah dilaporkan bahwa Ia
menganggap hubungan ini terjadi antara Allah dan orang yg tidak percaya. Ia
bukan hanya tidak mengisyaratkan Allah sebagai Bapak yang menyelamatkan semua
orang, tapi Ia mengatakan dengan sangat tajam kepada orang-orang Yahudi yang
suka bertengkar, ‘Iblislah yang menjadi bapakmu’ (/TB Yoh 8:44*).
Dalam hubungan Bapak inilah PB menunjukkan segi-segi yg lebih
lembut dari tabiat Allah, kasih-Nya, pemeliharaan-Nya, karunia-Nya dan
kesetiaan-Nya. Dalam mendidik ke-12 murid-Nya Kristus memakai gambaran dan
hubungan bapak duniawi kepada anak-anaknya dan dari sana terus maju ke tingkat
yang lebih tinggi: ‘Betapa terlebih lagi Bapak-mu yang di sorga … .’
KEPUSTAKAAN.
J. J Crawford, The Fatherhood of God, 1868; J Orr, The Christian View of God
and the World, 1908; A. S Pringle-Pattison, The Idea of God, 1917; G Vos,
Biblical Theology, 1948; H Bavinck, The Doctrine of God, 1951; J. I Packer,
Knowing God, 1973; J Schneider, C Brown, J Stafford Wright, NIDNTT 2, hlm
66-90; H Kleinknecht dll, TDNT 3, hlm 65-123. (RAF/JMP//RBC Ministry-2004)
0 komentar:
Post a Comment