Home » » ALLAH TRITUNGGAL

ALLAH TRITUNGGAL



“Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa!” (Ul. 6:4)

Tuhan Allah, yang sebagai sekutu umatnya telah menyatakan atau memperkenalkan diri-Nya sebagai yang esa, selanjutnya dengan firman dan karya-Nya, juga menyatakan atau memperkenalkan diri-Nya sebagai Bapa, Anak dan Roh Kudus, yang di dalam ajaran Kristus biasanya disebut: Tritunggal.

Didalam Alkitab tidak ada banyak ayat yang mengungkapkan ketritunggalan itu secara langsung. Kita mendengar perintah Tuhan Yesus untuk membaptis di dalam nama Bapa, Anak dan Roh Kudus (Matius 28:19). Rasul Paulus mengucapkan berkatnya sebagai “Kasih karunia Tuhan Yesus Kristus dan kasih Allah dan persekutuan Roh Kudus” (2Kor. 13:13) dan secara lebih luas lagi disebutkan dalam 1Kor. 12:4-6; Ef. 4:4-6; 1Ptr. 1:1,2; Yud. 20, 21. Namun apabila kita perhatikan secara seksama, secara tidak langsung ada banyak ayat di dalam Perjanjian Baru yang menunjuk kepada ketritunggalan tersebut.

Di dalam berita tentang kelahiran Yesus kita mendengar perkataan malaikat bahwa anak Maria itu akan disebut Anak Allah Yang Mahatinggi, serta bahwa Roh Kudus akan turun atas Maria, serta kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaunginya (Luk. 1:32,35). Pada waktu Tuhan Yesus di baptis, kita membaca, bahwa Roh Allah turun ke atasnya seperti burung merpati dan bahwa Tuhan Allah berfirman: “Inilah Anak yang Kukasihi” (Mat. 3:16, 17; Mrk. 1:10; Luk. 3:22).

Selain daripada itu Tuhan Yesus sendiri mengaku dihadapan Sanhedrin, bahwa Ia adalah Anak Allah (Mat. 27:43; Mrk. 14:61). Dihadapan orang Yahudi Ia menyebut Tuhan Allah Bapanya (Yoh. 5:19, 23-26). Sedang orang lain menyebut Dia Anal Allah (Mat. 4:3,6; Mat. 16:16,17), mengenai Roh Kudus disebutkan bahwa Tuhan Yesus akan mengutus Roh-Nya daripada Bapa (Yoh. 15:26; 14:16,17).
Sejarah dogma Tentang Tritunggal
Pada abad-abad yang pertama Gereja yang masih muda itu dihadapkan dengan persoalan-persoalan sebagai berikut:

a.       Pengakuan yang diambil-alih dari ajaran Yahudi, yaitu bahwa Tuhan Allah adalah esa
b.      Pengakuan bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan

Oleh karena itu maka segeralah timbul persoalan, apakah dengan demikian orang Kristen tidak menyembah kepada Allah yang lebih dari satu?

Disepanjang sejarah Gereja tampaklah pergumulan Gereja yang masih sangat muda itu untuk merumuskan kepercayaannya yang mengenai Tuhan Allah. Didalam pergumulan tersebut kita dapat menyaksikan bagaimana Gereja di satu pihak berusaha untuk menghindarkan diri dari bahaya mempertahankan keesaan Allah dengan melepaskan ketritunggalan, artinya: bahwa orang sedemikian menekankan kepada ajaran bahwa Allah adalah esa, sehingga sebutan Bapa, Anak dan Roh Kudus seolah-olah hanya dipandang sebagai sifat-sifat Allah saja. Dilain pihak kita menyaksikan, bagaimana Gereja bergumul untuk menghindarkan diri dari bahaya mempertahankan ketritunggalan Allah dengan melepaskan keesaannya, artinya: bahwa orang sedemikian menekankan kepada perbedaan di antara Bapa, Anak dan Roh Kudus, hingga ketiganya seolah-olah berdiri sendiri-sendiri tanpa ada kesatuannya.    

Pada abad ketiga di Roma muncullah Praxeas yang mengajarkan bahwa Tuhan Allah adalah Roh. Sebagai Roh Tuhan Allah disebut Bapa. Allah ini telah mengenakan daging atau menjadi manusia. allah yang telah mengenakan daging ini disebut Anak. Di dalam diri Tuhan Yesus Kristus Bapa dan Anak menjadi satu, dalam arti demikian, bahwa Sang Manusia Yesus , yang daging adanya, adalah Anak, yaitu sang manusia Yesus di dalam diri Juru Selamat. Sebenarnya Anak inilah yang menderita sengsara, sebab Allah Bapa, yang Roh adanya, tidak dapat menderita. Tetapi oleh karena Allah Bapa telah memasuki daging (Kristus memasuki Yesus) Ia turut menderita juga (Ajaran ini disebut Patripassianisme, artunya bahwa Bapa turut menderita sengsara). Disini Praxeas membedakan antara daging (Anak) dan Roh (Bapa) di dalam diri Tuhan Yesus Kristus. Sebenarnya, menurut Praxeas, Bapa dan Anak (Roh dan daging, atau Kristus dan Yesus) ini adalah Pribadi yang satu , yaitu Allah. Dalam hal Praxeas mempertahankan keesaan Allah, Tuhan Allah adalah satu. Bapa dan Anak adalah satu pribadi, yaitu pribadi Tuhan Allah. Tetapi Praxeas melepaskan ketritunggalan atau disini lebih tepat disebut: kedwitunggalan. Sebutan Bapa dan Anak tidak menunjukkan perbedaan,  kecuali sebagai Roh dan daging di dalam diri Juru Selamat Yesus Kristus. Selain Praxea, Sabelius (meninggal pada tahun 215) mempertahankan keesaan Tuhan Allah dengan melepaskan ketritunggalan. Ia mengajarkan, bahwa Tuhan Allah adalah esa. Bapa. Anak dan Roh Kudus adalah modalitas atau cara menampakkan diri Tuhan Allah yang esa itu. semula, yaitu di dalam Perjanjian lama Tuhan Allah menampakkan diri-Nya di dalam wajah atau modus Bapa, yaitu sebagai Pencipta dan Pemberi Hukum. Sesudah itu Tuhan Allah menampakkan diri-Nya di dalam wajah Anak, yaitu sebagai Juru Selamat yang melepaskan umat-Nya, yang dimulai dari ke;ahiran Kristus hingga kenaikan-Nya ke surga. Akhirnya Tuhan Allah sejak hari Pentokosta menampakkan diri-Nya di dalam wajah Roh Kudus, yaitu sebagai Yang Menghidupkan. Jadi ketiga sebutan tadi adalah suatu urut-urutan penampakan Tuhan Allah di dalam sejarah. Gereja pada waktu itu menolak ajaran-ajaran tersebut.

Paulus dari Samosta (meninggal tahun 260), menurut Paulus, Tuhan Allah hanya hanya dapat dipandang sebagai satu pribadi saja. Tetapi di dalam diri Allah dapat dibedakan antara Logos (Firman) dan Hikmat dapat disebut Roh. Logos bukanlah suatu pribadi, melainkan seuatu kekuatan yang tidak berpribadi. Logos ini telah bekerja pada diri Musa dan para nabi di dalam Perjanjian Lama, selanjutnya Ia juga bekerja di dalam diri Yesus, anak Maria. Juru Selamat Yesus Kristus adalah manusia, yang datangnya dari bawah. Akan tetapi padanya telah bekerja Logos atau Firman, yang datangnya dari atas. logos atau Firman ini dapat juga disebut “Manusia batin” dari Yesus, sang Juru Selamat itu. Kediaman Logos atau Firman di dalam diri Yesus Kristus sama dengan kediaman Hikmat atau Roh  di dalam diri para nabi Perjanjian Lama. Perbedaannya ialah, pada Yesus Kristus Hikmat atau Roh tadi mempunyai sifat yang khas: Yesus Kristus adalah Rumah Allah, yang didiami oleh dua oknum yang dapat memiliki kesatuan kegemaran dan kehendak, demikianlah halnya dengan Tuhan Allah dan Kristus. Kesatuan kegemaran dan kehendak yang demikian itu terjadi karena kasih. Kesatuan dengan Tuhan Allah, sehingga Ia bukan hanya dapat “tidak berdosa”, melainkan juga dapat mengalahkan dosa-dosa nenek moyang-Nya. Sebagai upah kasih-Nya yang demikian itu Ia dikaruniai nama yang di atas segala nama, dan mendapat hak untuk mengadili dan memiliki kehormatan Allah, Ia diangkat menjadi Anak Allah.

Demikianlah Paulus dari Samosa mempertahankan perbedaan antara Allah Bapa dan Yesus Kristus. Keduanya dipisahkan hingga berdiri sendiri-sendiri, tanpa kesatuan. Ia mempertahankan ketritunggalan (atau disini kedwitunggalan) dengan melepas keesan-Nya. Sama seperti Paulus hal itu juga di lakukan oleh Origenes (meninggal tahun 254). Menurut Origenes, Tuhan Allah adalah satu atau esa, sebagai lawan dari segala yang banyak. Tuhan ini menjadi sebab segala sesuatu yang berada. Dengan perantaraan Logos atau Firman, Tuhan Allah, yang Roh adanya itu, berhubungan dengan dunia benda. Logos ini berdiri sendiri sebagai suatu zat, yang memiliki kesadaran ilahi dan asas-asas duniawi. Ia adalah gambaran Allah yang sempurna. Sejak kekal ia dilahirkan dari zat ilahi. Karena kekuasaan kehendak ilahi Ia terus-menerus dilahirkan dari zat ilahi. Ia memiliki tabiat yang sama dengan Allah, oleh karena itu dapat dikatakan bahwa Ia satu dengan Allah, akan tetapi sebagai yang keluar dari Allah Bapa, Ia lebih rendah daripada Allah Bapa. ia adalah pangkat pertama dari perpindahan dari “Yang Esa” kepada “Yang banyak”, atau pangkat kedua di dalam zat Allah.

Aktivitas Logos atau Anak ini juga lebih rendah dibanding dengan aktivitas Bapa. ia lebih rendah daripada Allah Bapa. Ia adalah pelaksana kehendak Allah Bapa, yang melaksanakan instruksi Allah Bapa, sebagai umpamanya: kejadian.

Roh Kudus dianggapnya juga sebagai zat yang ada pada Allah, yaitu pangkat ketiga di dalam zat Allah itu. Roh Kudus ini adanya karena Anak. Hubungannya dengan Anak sama dengan hubungan Anak dengan Bapa. Bidang kerjanya lebih sempit disbanding dengan bidang kerja Anak. Bapa adalah asas beradanya segala sesuatu, sedang Roh Kudus adalah atas penyuciaan segala sesuatu.

Jadi ketritunggalan Allah dipandang sebagai berpangkat-pangkat. Oleh karena itu ajaran ini disebut subordinasianisme. Disini perbedaan di antara Bapa, Anak dan Roh Kudus dipertahankan, akan tetapi kesatuannya ditiadakan. Demikianlah secara singkat pergumulan Gereja yang masih muda itu untuk merumuskan ajarannya mengenai penyataan Tuhan Allah sebagai Bapa, Anak dan Roh Kudus.

Di Konsili di Nilea (325) Gereja menentukan sahadatnya untuk mempertahankan ketritunggalan di dalam keesaan dan keesaan di dalam ketritunggalan. Bunyi sahadat itu demikian :

“Aku percaya kepada satu Allah, Bapa yang mahakuasa, Pencipta langit dan bumi, segala yang kelihatan dan yang tidak kelihatan. Dan kepada satu Tuhan, Yesus Kristus, Anak Allah yang tunggal, yang lahir dari Sang Bapa sebelum ada segala zaman, Allah dari Allah , terang dari terang, Allah sejati dari Allah sejati, diperanakan, bukan dibuat, sehakekat dengan Sang Bapa…dst. Aku percaya kepada Roh Kudus, yang jadi Tuhan dan yang menghidupkan, yang keluar dari Sang Bapa dan Sang Anak….dst”

Dengan perumusan ini jelas, bahwa dengan tegas diajarkan tentang Allah Tritunggal, Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus, yang bersama-sama disembah dan dimuliakan. Perlu diperhatikan, bahwa Gereja disini mengakui Allah Tritunggal, akan tetapi tidak memberi penjelasan secara teologis.

Orang yang besar sekali pengaruhnya bagi perumusan ajaran Tritunggal ini adalah Tertullianus (120-225). Daripadanyalah istilah substansi atau zat dan persona atau pribadi dikenakan kepada ajaran Tritunggal. Ia merumuskan, bahwa Tuhan Allah adalah satu di dalam substansinya atau zat-Nya dan tiga di dalam persona-Nya atau pribadi-Nya atau oknum-Nya (una substantia, tres personae).

Tertullianus sendiri mengajarkan demikian: Tuhan Allah memiliki pada diri-Nya akal atau budi. Budi ini dilahirkan atau dikeluarkan di dalam Firman atau Logos-Nya pada waktu penjadian alam semesta. Jadi Firman atau Logos itu keluar atau dilahirkan dari budi, seperti batang pohon yang memilki akarnya, atau sungai keluar dari sumbernya, atau sebagai sinar keluar daripada matahari. Jadi hubungan antara Bapa, Anak dan Roh Kudus digambarkan seperti hubungan: akar – batang – buah, atau matahari – sinar – berkas sinar. Bapa, Anak dan Roh Kudus memiliki satu substansi, sedang mereka adalah tiga persona atau pribadi atau oknum. Adapun yang dimaksud dengan sustansi oleh Tertullianus adalah apa yang berada secara kongkrit (sebagai umpamanya: batu, tanah dan sebagainya), dan yang di maksud dengan persona adalah yang menjadi subyek.

Sekalipun Gereja pada waktu itu tidak menerima ajaran Tertullianus akan tetapi perumusannya tentang adanya satu substansi dan tiga persona mempengaruhi pemikiran-pemikiran Gereja dari zaman sesudah Tertullianus. Disepanjang sejarah Gereja perumusan ini telah menimbulkan salah faham yang banyak sekali. Hal ini, demikian banyak teolog berpendapat, disebabkan karena istilah-istilah yang dipergunakan di dalam bahasa Latin dan Yunani bagi pengertian-pengertian substansi dan persona tidaklah tepat, terlebih-lebih yang mengenai pengertian persona atau pribadi atau oknum.

Dalam abad-abad sesudah Konsili di Nikea itu pergumulan tentang perumusan Tritunggal masih belum juga memuaskan segala pihak.

Agustinus umpamanya merumuskan ketritunggalan itu demikian, bahwa hubungan Bapa, Anak dan Roh Kudus di dalam zat ilahi adalah sebagai ingatan, akal dan kehendak, atau sebagai “yang mengasihi”, “sasaran lasih” dan “kasih”. Roh bukan hanya suatu fungsi, melainkan suatu tindakan kasih, ikatan yang menghubungkan Bapa dan Anak. 

Thomas Aquinas mengatakan, bahwa Bapa, Anak dan Roh Kudus adalah cara berada ilahi yang berdiri sendiri. Jadi yang dimaksud dengan persona adalah cara berbeda.

Calvin menerangkan persona sebagai suatu hal yang berdiri sendiri.di dalam kehidupan ilahi, yang satunya dibedakan dengan yang lain, karena sifat-sifat ilahi yang khas ilahi semata-mata. 
Di dalam bahasa Yunani yang dimaksud dengan ousia ialah apa yang membedakan satu macam atau rumpun dengan macam rumpun yang lain, serta yang memberi khas kepada macam atau rumpun itu. umpamanya: rumpun mangga; ousia mangga adalah cirri-cirinya yang membedakan rumpun ini dengan rumpun yang lain (umpamanya: jambu) dan cirri-ciri yang khas pada mangga yang menjadikan mangga berbeda dengan jambu. Ousia atau substansi manusia, atau juga disebut zat atau hakekat manusia, adalah apa yang membedakan manusia daripada bimatamg dan daripada tumbuh-tumbuhan serta daripada Allah, pendeknya: yang menjadikan manusia disebut manusiam bukan binatang atau tumbuha-tumbuhan atau Allah. Demikian juga halnya dengan ousia atau substansi Allah, ialah apa yang membedakan Allah daripada manusia dan mkhluk-makhluk yang lain, yang oleh Plato disebut “tabiat ilahi” atau “ketuhanan”, yang harus dibedakan dengan “tabiat insani” atau “kemanusiaan”.

Yang dimaksud dengan hypotstasis  atau persona adalah apa yang membedakan satu individu dari imdividu yang lain, serta yang memberikan cirri khas kepada individu itu di didalam satu rumpun atau satu macam, umpamanya: buah jeruk ada bermacam-macam, ada jeruk keprok, jeruk pecel, dan sebagainya. Semuanya itu termasuk rumpun jeruk, akan tetapi yang sebuah berbeda dengan yang lain.

Diterapkan kepada Tuhan Allah, hal itu diterangkan sebagai berikut, bahwa Bapa, Anak, Roh Kudus adalah tiga hupostasis di dalam satu ousia atau tiga persona di dalam satu substansi, atau tiga oknum di dalam satu zat.

Sejak abad ke-a8 pengertiam persona atau oknum telah diartikan sebagai : suatu kekuatan yang beridri sendiri dengan secara sadar, atau suatu swadaya yang sadar, yang dengan kekuatan kesusilaannya mempertahankan diri terhadap kekuatan-kekuatan yang tidak berpribadi di sekitarnya. Sejak abad ke-18 ini sebenarnya pengertian persona atau oknum telah tidak mungkin lagi diterpakan guna mengungkapkan pengertian Alkitab yang mengenai Bapa, Anak dan Roh Kudus. Sebab memang bukan pengertian yang seperti itulah yang dimaksud oleh Gereja Kuno ketika merumuskan ajarannya tentang ketritunggalan ALLAH. Oleh karena itu maka banyak para ahli teologi sekarang yang menterjemahkan ungkapan hypostasis atau persona bukan dengan oknum, melainkan dengan cara berada (seinsweise atau mode of existence), sehingga ketritunggalan dirumuskan demikian : Allah adalah satu di dalam substansinya, tetapi memiliki tiga cara berada. 

Agama Kristen berdiri dan jatuh bersama-sama dengan pengakuan kepada Allah yang menyatakan diri-Nya sebagai Yang Tritunggal, sebagai Bapa, Anak dan Roh Kudus. Ajaran ini adalah inti iman Kristen, dasar segala ajaran Kristen. Maka orang Kristen akan senantiasa memuji: “Hormat bagi Allah Bapa, hormat bagi Anak-Nya, hormat bagi Roh Penghibur, ketiganya yang Esa. Haleluya, haleluya, ketiganya yang Esa”. Bagaimanakah Alkitab menerangkan tentang ketritunggalan? Baiklah kita belajar tentang hal tersebut dengan observasi ke dalam Alkitab kita.
 

1 komentar:

  1. "שמע ישראל יהוה אלהינו יהוה אחד. ואהבתא את יהוה אלהיך בכל לבבך ובכל נפשך ובכל מאדך ואהבתא לרעך כמוך. "
    👆👇
    " Shema Yisrael YHWH ( Adonai ) Eloheinu YHWH ( Adonai ) ekhad. V'ahavta et YHWH ( Adonai ) Eloheikha bekol levavkha uvkol nafsheka uvkol meodekha v'ahavta lereakha kamokha. "
    👆👇
    " Dengarlah, hai Israel: YHWH ( Adonai ) Elohim kita: YHWH ( Adonai ) itu satu. Dan kasihilah YHWH ( Adonai ) Elohimmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. "
    ( Ulangan 6 : 4 - 5, Imamat 19 : 18, Markus 12 : 29 - 31 )
    🕎✡🐟✝🕊🇮🇱

    ReplyDelete

Blog Rankings

Arts Blogs - Blog Rankings