Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut
gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. (Kej 1:27)
Sebuah pengertian apologetika alkitabiah terletak pada pandangan
yang tepat akan kebenaran mengenai karakter manusia. "Kenalilah dirimu sendiri"
telah merupakan suatu semboyan yang populer di antara para pemikir sejak awal
permulaan dari sejarah filsafat. Pengetahuan akan diri sendiri akan melengkapi
kita dengan lebih baik untuk melaksanakan berbagai macam tugas kita di dalam
dunia ini.
Alkitab melihat sejarah dunia dan manusia dalam tiga tahap:
penciptaan, kejatuhan, dan penebusan. Dunia diciptakan lalu jatuh dalam kutuk
dosa, dan kemudian ditebus dengan kematian dan kebangkitan Yesus Kristus.
Sejajar dengan tiga macam perspektif ini kita akan mengamati karakteristik
manusia dalam tiga kategori. Dalam pelajaran ketiga ini kita akan mengamati
manusia sebelum kejatuhan, dan dalam dua pelajaran yang berikutnya kita akan
mempelajari manusia yang telah jatuh ke dalam dosa dan manusia yang telah
ditebus.
A. Manusia dalam Rupa dan Gambar Allah
Penciptaan manusia menurut gambar dan rupa Allah merupakan suatu
karakteristik yang membedakan manusia dengan ciptaan yang lain (lihat Kej
1:27). Fakta ini mempunyai banyak sekali implikasi yang dapat kita
pelajari. Kita harus membatasi diri kita sendiri dalam hal ini dengan hanya
mempelajari sebagian dari keberartian manusia diciptakan menurut gambar dan
rupa Allah.
Dari luar, manusia seperti Allah daiam hal kemampuan dan karakteristiknya
secara fisik. Dari dalam, manusia dapat berpikir dan mengembangkan pemikirannya
di mana dalam hal ini hanya manusia yang dapat melakukannya. Keunikan lain yang
dimiliki manusia sebagai makhluk yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah adalah
jiwa yang bersifat kekal (lihat Kej 2:7). Lebih daripada itu sebagai manusia yang seperti Penciptanya,
manusia telah dijadikan sebagai penguasa atas bumi ini. Sebagai wakil Allah dia
menggali dan mengolah kekayaan ciptaan Allah untuk digunakan sebagai pelayanan
bagi Allah (lihat Kej 1:27-31).
Karakteristik ini berlaku dalam batas-batas tertentu bagi semua
manusia dalam dunia ini oleh karena manusia sebelum kejatuhan ke dalam dosa
merupakan manusia menurut gambar dan rupa Allah secara khusus. Sebelum berdosa,
manusia merupakan makhluk menurut gambar dan rupa Allah yang sempurna.
… Allah telah
menjadikan manusia yang jujur. (Pkh 7:29)
Sebelum kejatuhannya ke dalam dosa, manusia merupakan gambar dan
rupa Allah yang tanpa dosa. Di taman Eden Adam dan Hawa hidup secara harmonis
dengan Allah. Mereka berjalan di hadapan Allah tanpa malu. Paulus menjelaskan
tahap ini sebagai:
pengetahuan yang
benar menurut gambar Khaliknya (Kol 3:10)
Di bagian yang lain Paulus mengatakan bahwa apabila seseorang
diperbaharui menurut karakter Adam yang semula, maka ia telah:
diciptakan … di
dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya. (Efe 4:24)
Dari bagian Firman Tuhan ini dua kualitas yang penting dari
manusia sebelum jatuh dalam dosa dapat kita lihat. Pertama, dia mempunyai
"pengetahuan yang benar" (Kol 3:10). Dengan kata lain, Adam
dan Hawa tidak pernah melupakan perbedaan Pencipta dan ciptaan dalam hubungan
dengan pengetahuan mereka. Mereka bergantung pada penyataan Allah akan diri-Nya
sendiri sebagai sumber dari kebenaran mereka, dan mereka menyamakan semua
pemikiran mereka dengan standar dari kebenaran yang dinyatakan oleh Allah. Oleh
karena itu Adam dapat diberi tugas yang sukar, yaitu untuk memelihara taman dan
menamai setiap binatang di bumi. Dia secara sadar menyadari akan kebutuhannya
untuk mendengarkan Allah dalam setiap keadaan apabila ia menghendaki
pengetahuan yang benar. Sebelum kejatuhan dalam dosa pengetahuan manusia akan
kebenaran dibarengi dengan karakter moralitasnya, di mana Adam memiliki
"pengetahuan yang benar dan suci." Adam mengerti bahwa karena sifat
dari penciptaan-Nya, maka dia harus mempelajari apa yang sepatutnya dan yang
tidak sepatutnya dari Allah.
Oleh karena bersandar pada pengetahuan Allah, maka Adam dan Hawa
sebelum jatuh dalam dosa taat secara sempurna kepada semua perintah Allah dan
hidup secara damai dengan DIA. Dalam segala keadaan, manusia sebelum jatuh ke
dalam dosa mengetahui kebenaran dan hidup sesuai dengan kebenaran itu.
B. Tanpa Dosa dan Fana
Meskipun manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah yang
sempurna sebelum kejatuhan, namun manusia adalah manusia yang fana dan
terbatas. Allah adalah Allah yang maha ada (lihat 1Raj 8:27; Yes 66:1) tetapi
manusia terbatas oleh fisiknya dalam keberadaan yang terbatas. Allah adalah
Allah yang mahakuasa (lihat Mzm 115:3); tidak ada yang dapat mengatasi atau melampaui kuasa-Nya. Oleh
karena itu, sehebat-hebatnya teknologi mutakhir yang telah dicapai untuk
menunjukkan kehebatan manusia tetap tidak dapat menandingi kemahakuasaan Allah.
Di hadapan Allah manusia tetap jauh lebih lemah dan terbatas.
Demikian juga halnya dengan keterbatasan pengetahuan manusia
dibandingkan dengan pengetahuan Allah yang lengkap dan sempurna (lihat Ayb 37:15; Mzm 139:12; Ams 15:3; Yer 23:23-24). Sebagaimana penulis surat Ibrani mengatakan:
Dan tidak ada suatu
makhluk pun yang tersembunyi di hadapan-Nya, sebab segala sesuatu telanjang dan
terbuka di depan mata Dia dan kepada-Nya kita harus memberikan pertanggungan
jawab. (Ibr 4:13)
Bahkan Adam akan setuju dengan Yesaya yang mengatakan:
Seperti tingginya
langit dan bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku
dari rancanganmu. (Yes 55:9)
Tentu saja dibandingkan dengan pengetahuan Allah, maka pikiran
manusia "hanyalah seumpama nafas" (Mzm 94:11).
Akibatnya manusia terbatas dalam pengertiannya oleh apa yang dinyatakan oleh
Allah dan harus puas dengan pengetahuan yang tidak lengkap atau sempurna.
Hal-hal yang
tersembunyi ialah bagi Tuhan, Allah kita, tetapi hal-hal yang dinyatakan ialah
bagi kita dan bagi anak-anak kita sampai selama-lamanya, supaya kita melakukan
segala perkataan hukum Taurat ini. (Ul 29:29)
Pengertian mengenai keterbatasan pengetahuan manusia membawa kita
kepada hal yang penting dalam diskusi yang berikutnya. Walaupun Adam tidak
mengetahui segala sesuatu, dia tetap memiliki pengetahuan yang benar (lihat Kol
3:10). Pengertian manusia akan segala sesuatu yang ia ketahui dibatasi oleh
perspektifnya akan waktu dan perubahan-perubahan yang terjadi dalam hal-hal
yang ia ketahui. Keterbatasan-keterbatasan ini merupakan bagian dari sifat
penciptaan manusia.
Namun kita harus ingat bahwa sebelum jatuh ke dalam dosa
pengetahuan yang dimiliki oleh Adam berasal dari Allah dalam kebergantungannya
kepada penyataan Allah. Oleh karena itu segala sesuatu yang diketahui oleh
Adam, diketahuinya dengan benar, sebab ia datang pada sumber kebenaran untuk
memperolehnya, yaitu Allah. Sangat nyata bahwa keterbatasan manusia tidak
membuat ia tidak mampu untuk mengetahui kebenaran. Sepanjang pengetahuan yang
didapatkan oleh manusia itu berasal dari Allah, maka pengetahuan itu pasti
benar.
Oleh karena keterbatasannya, maka Adam harus menghadapi misteri
dalam kehidupannya, "hal-hal yang tersembunyi" (Ul 29:29) yang
ia tidak dapat ketahui. Dari fakta ini kita dapat melihat bahwa manusia yang
sempurna pun tidak mampu untuk menyusun/menyimpulkan setiap aspek dari
pengetahuan yang didapatnya ke dalam suatu paket yang baik dan sempurna; selalu
ada titik buntu dalam pemikirannya, yaitu paradoks-paradoks dan
kesulitan-kesulitan yang tidak dapat dipecahkan oleh akal pemikiran manusia.
Namun sebagaimana besarnya misteri ini, pengetahuan manusia dalam tahap ini
tetap dapat diperhitungkan dan dipertanggung-jawabkan kepastian dan
kebenarannya.
Kepastian dan keyakinan Adam terletak pada penyataan Allah, tidak
pada kemampuannya untuk mengetahui yang terpisah dari pengetahuan Allah.
Pengetahuan Allah yang sempurna dalam segala sesuatu mengabsahkan pengetahuan
manusia yang terbatas sepanjang manusia bergantung kepada Allah. Mari kita
melihat contoh dari suatu misteri yang kita hadapi atau temui pada jaman ini.
Inkarnasi dari Juruselamat kita Tuhan Yesus Kristus merupakan
suatu hal yang penuh dengan misteri. Kita mengakui bahwa Dia adalah Allah dan
juga manusia. Kita dapat mengerti kesejatian dari ke-Tuhanan-Nya dan kesejatian
dari kemanusiaan-Nya sampai pada taraf tertentu, tetapi apabila kita mencoba
untuk menyelidiki lebih lanjut implikasi dari pengajaran ini, maka kita akan
terbentur pada batas kemampuan kita untuk mengerti. Misalnya, dapatkah kita
menjelaskan bagaimana Yesus "bertambah dalam hikmat-Nya" (Luk 2:52)
apabila Dia adalah Allah yang Mahatahu? Apakah kita dapat menjelaskan bagaimana
Yesus yang adalah Allah dapat mati di atas kayu salib? Kita dapat berusaha
sekuat tenaga untuk menjawab pertanyaan ini, namun orang yang jujur segera akan
menyadari bahwa pertanyaan-pertanyaan ini dan juga pertanyaan-pertanyaan yang
lain dan semacamnya adalah di luar batas kemampuannya untuk mengerti.
Meskipun kita tidak dapat menyelami semua konsep ini, namun kita
dapat yakin bahwa Yesus adalah 100% Allah dan juga 100% manusia, dan bahwa Ia
bertambah dalam hikmat dan kemudian Ia mati. Keyakinan ini bukan bergantung
kepada ketidakmampuan kita untuk mengerti secara tuntas, melainkan karena
keyakinan kita terletak pada penyataan Allah.
Semakin kita bertambah mengerti akan kebenaran kristiani, kita
akan menemukan bahwa di akhir setiap pengajaran dari Firman Tuhan terlihat
fakta ketidakmampuan manusia untuk menyelami secara tuntas konsep-konsep dalam
hubungannya dengan konsep-konsep kebenaran yang lain. Ada banyak hal-hal yang
kelihatannya berlawanan satu dengan yang lain dalam kebenaran kristiani, tetapi
hal ini tidak boleh menyebabkan kita meragukan pengajaran Alkitab. Ada dua
alasan mengapa kita tidak boleh meragukan pengajaran Alkitab.
Pertama, hal itu harus membuat kita sadar akan keterbatasan diri
kita. Manusia harus menyadari keberadaan mereka sebagai makhluk ciptaan dan
bersama Paulus menyatakan kalimat berikut ini:
O, alangkah
dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki
keputusan-keputusan-Nya dan sungguh tak terselami jalan-jalan-Nya! (Rm
11:33)
Kedua, Alkitab tidak seharusnya diragukan pada saat kita tidak
dapat mencocokkan satu dengan yang lain. Penyataan Alkitab merupakan pemikiran
Allah di mana bagi-Nya tidak ada satu hal pun yang bersifat misteri. Allah
dapat menuntaskan konsep-konsep yang paling sukar yang tidak dapat dituntaskan
oleh pemikiran manusia. Tidak ada satu hal pun yang misteri bagi Allah; Dia
mengetahui segala sesuatu dengan sempurna. Misteri merupakan keterbatasan dari
makhluk ciptaan, bukan Pencipta. Sepanjang kita bergantung kepada Dia dalam
pengetahuan kita, misteri yang paling besar pun tidak akan menghalangi kita
dari kebenaran
C. Logika, Allah dan Manusia
Suatu hal yang terus menerus timbul dalam suatu diskusi dan yang
mempengaruhi apologetika alkitabiah adalah peranan logika dalam hubungan antara
Allah dan manusia. Dalam pelajaran ini kita akan membatasi pada sebagian kecil
dari pertanyaan-pertanyaan yang ada. Bagian-bagian lain akan disimpan untuk
diskusi yang akan datang.
Adam diciptakan sebagai makhluk yang dapat berpikir dan
mengembangkan pemikirannya, hal ini mencerminkan hikmat Allah dan juga
membedakan dia dengan binatang (lihat 2Ptr 2:12, Yud 10). Kita
telah pelajari bahwa di taman Eden Adam telah menggunakan akal budinya dalam
kebergantungan-Nya kepada Allah. Dia membangun pola berpikirnya sesuai dengan
petunjuk Allah. Adam pasti menggunakan logika meskipun dalam bentuk yang
sederhana, dan ia menggunakannya dalam ketaklukannya kepada Allah. Dia tidak
pernah mengabaikan kebergantungannya kepada Allah dengan berpikir logikanya
yang mampu untuk memberikan kepada dia penjelasan dan pengetahuan untuk
terpisah dari Allah. Akibatnya, penggunaan Adam dalam kemampuannya untuk
menggunakan akal budinya selalu tunduk pada keterbatasan dan pimpinan penyataan
Allah. Allah selalu dilihat sebagai dasar dari kebenaran dan gembala dari
kebenaran, oleh karena pada saat itu Adam masih dalam keadaan manusia yang
diciptakan menurut gambar Allah dan tanpa dosa.
Dari peranan akal budi berdasarkan logika yang dimiliki oleh
manusia sebelum dosa masuk ke dalam dunia, maka ada beberapa pengamatan dapat
kita lakukan. Pertama, menggunakan akal budi dan mengembangkan pemikiran itu
bukanlah merupakan sesuatu yang salah dan jahat. Kekristenan telah mendapat
berbagai macam serangan dari mereka yang mengklaim bahwa segala sesuatu harus
"masuk akal" dan "ilmiah."
Beberapa orang Kristen berpikir bahwa perlindungan satu-satunya
adalah dengan cara menolak ilmu pengetahuan dan pemakaian akal budi serta
menganggap ke dua hal itu sebagai sesuatu yang jahat. Penggunaan akal budi
bukanlah merupakan sesuatu yang jahat, sebab di dalam taman Eden, Adam juga
menggunakan akal budinya dan dia mengembangkan pemikirannya. Adamlah yang
menamai binatang-binatang dan yang memelihara taman.
Yang perlu diperhatikan adalah apabila pemakaian akal budi dan
pengembangan pemikiran manusia itu dilakukan secara berdiri sendiri atau
terlepas dari Allah, maka hal-hal itu akan memimpin kepada ketidakbenaran dan
kesalahan. Tetapi apabila kedua hal itu dipergunakan dalam kebergantungan
kepada penyataan Allah, maka kebenaran yang akan diketemukan. Menggunakan akal
budi dan mengembangkan pemikiran itu sendiri tidaklah berlawanan dengan iman
atau kebenaran.
Kedua, logika tidaklah berada di atas fakta perbedaan antara
Pencipta dengan ciptaan. Pada saat kita berbicara tentang manusia dalam
menggunakan akal budinya, kita harus ingat bahwa logika hanya merupakan
refleksi dari hikmat dan pengetahuan Allah. Meskipun dalam Firman Tuhan, Allah
merendahkan diri dan menyatakan diri-Nya dengan istilah yang sesuai dengan daya
pikir, logika manusia, namun itu tidak berarti logika manusia berada di atas
atau sejajar dengan Allah dan juga tidak merupakan bagian dari keberadaan
Allah.
Logika dalam bentuk-bentuk yang paling kompleks dan tajam tetap
berada dalam ruang lingkup ciptaan dan kualitasnya sesuai dengan kualitas
manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, bukan dengan kualitas
Allah itu sendiri.
Oleh karena logika merupakan bagian dari ciptaan maka logika
memiliki keterbatasan. Pertama terlihat dari logika sebagai sistem yang selalu
dalam proses berubah dan berkembang. Bahkan ada beberapa sistem logika yang
dalam titik tertentu berlawanan satu sama lain. Bahkan tidak ada definisi dari
"kontradiksi" yang diakui secara universal. Meskipun apabila semua
manusia dapat sepakat dalam satu sistem untuk mengembangkan suatu pemikiran,
logika manusia tidak dapat dipergunakan sebagai hakim untuk menentukan
kebenaran dan ketidakbenaran.
Kekristenan pada hal-hal tertentu dapat dikatakan masuk akal dan
logis tetapi logika menemui batas kemampuan pada saat diperhadapkan dengan
hal-hal seperti inkarnasi dari Kristus, dan doktrin Tritunggal. Logika bukanlah
Allah dan tidak boleh diberikan penghormatan yang hanya dimiliki oleh Allah
saja. Kebenaran hanya ditemukan pada penghakiman Allah bukan pada pengadilan
logika.
Oleh karena itu kita harus berhati-hati untuk menghindari dua
ekstrim yang biasanya diambil dalam hubungan dengan penggunaan akal budi dan
logika. Di satu pihak ada manusia yang menolak untuk menggunakan akal budi dan
setuju pada iman yang buta. Di lain pihak, ada manusia yang memberikan logika
sejumlah ruang untuk berdiri sendiri dan terlepas dari Allah. Kedua posisi
tersebut tidak sesuai dengan karakter manusia sebelum kejatuhan. Manusia
diciptakan sebagai makhluk yang dapat berpikir dan mengembangkan pemikirannya
tetapi dia diharapkan untuk menyadari keterbatasan pemikirannya dan
kebergantungan akan logikanya kepada Penciptanya.
Karakter manusia sebelum dosa masuk ke dalam dunia merupakan dasar
untuk tugas berapologetika. Meskipun pada saat ini tidak ada seorang pun di
dunia ini yang sama sekali lepas dari dosa, namun ada kualitas manusia
sebelum kejatuhan terbawa sampai hari ini. Pada saat kita membela iman
kristiani kita berhubungan dengan laki-laki dan perempuan keturunan dari Adam.
Oleh karena itu penting bagi kita untuk mempunyai pengertian yang kuat akan
keadaan manusia sebelum kejatuhan.
0 komentar:
Post a Comment