“Memang ibadah itu kalau disertai rasa cukup, memberi keuntungan
besar. Sebab kita tidak membawa sesuatu apa ke dalam dunia dan kitapun tidak
dapat membawa apa-apa ke luar. Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah. Tetapi
mereka yang ingin kaya terjatuh ke dalam pencobaan, ke dalam jerat dan ke dalam
berbagai-bagai nafsu yang hampa dan yang mencelakakan, yang menenggelamkan
manusia ke dalam keruntuhan dan kebinasaan. Karena akar segala kejahatan ialah
cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari
iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka.” (1Tim 6:6-10)
Apapun yang kita kerjakan di bumi adalah untuk beribadah
kepada-Nya dan mencari perkenan-Nya,
dalam hal perekonomian, atau apapun yang Tuhan ijinkan boleh terjadi kepada kita
cukupkanlah serta syukuri segala nikmat-Nya dan nyatakan itu semua dengan hati
yang puas. Rahasia kepuasan hati ialah
menyadari bahwa dalam keadaan yang sekarang ini Allah telah memberikan segala
sesuatu yang kita perlukan untuk tetap berkemenangan di dalam Kristus (1Kor
15:57; 2Kor 2:14; 1Yoh 5:4). Kemampuan untuk hidup berkemenangan atas
keadaan-keadaan yang berubah-ubah datang dari kuasa Kristus yang mengalir dalam
dan melalui kita (Flp 4:13). Akan tetapi,
kemampuan ini tidak datang dengan sendirinya. Hal itu harus dipelajari melalui
bersandar kepada Kristus.
Melalui suatu
proses hidup yang terkadang menyakitkan hati dan membuat pilu jiwa ini namun
semua itu Tuhan perbuat agar rohani kita bertumbuh dan Ia melihat seberapa
besar iman kita walaupun hakekatnya Dia Mahatahu apa yang dibelakang maupun apa
yang di depan-Nya. Orang
percaya hendaknya merasa puas dengan kebutuhan pokok, yaitu sandang, pangan,
dan papan. Jikalau kebutuhan keuangan khusus timbul, kita harus berharap kepada
Allah untuk menyediakannya (Mzm 50:15), sementara kita terus bekerja (2Tes
3:7-8), membantu orang yang memerlukan pertolongan (2Kor 8:2-3), dan
melayani Tuhan dengan pemberian menurut kerelaan hati (2Kor 8:3; 9:6-7). Tuhan mengingatkan kita pada saat kedatangan
dan kepulangan kita dari dunia ini apakah yang terjadi pada diri kita? {Ayb 1:21; Mzm
49:17; Pkh 5:15}. Tuhan mengajarkan kepada kita walaupun dalam
lembah kekelaman namun kita harus tetap mengingat kepada-Nya dan senantiasa
berbagi kepada sesama kita, ini adalah suatu sikap hati yang setia kepada-Nya
dan terpenuhi kasih-Nya; 2Kor 8:2 “Selagi
dicobai dengan berat dalam pelbagai penderitaan, sukacita mereka meluap dan
meskipun mereka sangat miskin, namun mereka kaya dalam kemurahan”.
Dari Firman ini menyingkapkan prinsip-prinsip dan janji-janji penting yang
menyangkut pemberian orang Kristen:
1) Kita ini milik Allah; apa yang kita punyai dipegang sebagai
sesuatu yang dipercayakan Tuhan kepada kita (2Kor 8:5).
2) Kita harus membuat keputusan yang mendasar dalam hati kita
untuk hidup bagi Allah dan bukan untuk uang (2Kor 8:5; Mat 6:24).
3) Kita memberi untuk menolong mereka yang membutuhkan bantuan (2Kor
8:14; 9:12; Ams 19:17; Gal 2:10), meluaskan Kerajaan Allah (1Kor 9:14;
Flp 4:15-18), menyimpan harta di sorga (Mat 6:20; Luk 6:32-35) dan
belajar takut akan Tuhan (Ul 14:22-23).
4) Hal memberi itu harus menurut pendapatan kita (2Kor 8:3,12;
1Kor 16:2).
5) Hal memberi itu dipandang sebagai suatu bukti dari kasih kita (2Kor
8:24) dan harus dilakukan sebagai pengorbanan (2Kor 8:3) dan dengan
sukarela (2Kor 9:7).
6) Dengan memberi kepada Allah, kita tidak saja menaburkan uang,
melainkan juga iman, waktu, dan pelayanan. Dengan demikian kita akan menuai
iman dan berkat yang lebih besar (2Kor 8:5; 9:6,10-12).
7) Ketika Allah menyediakan kelimpahan, itu adalah supaya kita
dapat melipatgandakan perbuatan baik kita (2Kor 9:8; Ef 4:28).
8) Hal memberi meningkatkan penyerahan kita kepada Allah (Mat
6:21) dan mengaktifkan pekerjaan Allah dalam keadaan keuangan kita (Luk
6:38).
Dan
bukan kehidupan sebaliknya dimana seseorang senantiasa berambisi untuk memiliki
kekayaan yang mana ini dapat berbahaya apabila ambisi ini semakin memuncak dan
ada terdapat kesempatan untuk memuaskannya maka yang terjadi hawa nafsunya yang
akan bekerja dan jalan apapun pasti akan dilakukan. Tuhan
tidak melarang kita menjadi kaya malah Dia mendorong agar kita menjadi kaya
dalam segala hal, namun tentunya proses dari memperolehnya harus berlandaskan
apa yang Dia ajarkan (Ams
15:27; Kel 23:8; Mzm 15:5;Yes
1:23; 33:15). Apabila kita hidup mengikuti apa yang Tuhan
Yesus kehendaki maka keberkatan akan datang pada setiap kehidupan kita; (Luk 24:50)
Alkitab
mengajarkan beberapa hal mengenai berkat Allah:
1) Kata "berkat" (Yun. _eulogia_) berarti:
(a) suatu karunia ilahi yang menyebabkan pekerjaan kita berhasil (Ul
28:12);
(b) kehadiran Allah bersama
kita (Kej 26:3);
(c) pemberian Allah berupa kekuatan, kuasa, dan pertolongan (Ef
3:16; Kol 1:11); dan
(d) pekerjaan Allah di dalam dan melalui kita untuk menghasilkan
kebaikan (Flp 2:13).
2) Hal pertama yang Allah lakukan dalam hubungan-Nya dengan umat
manusia adalah memberkati mereka (Kej 1:28). Allah juga memelihara
pekerjaan-Nya dengan memberkatinya (Yeh 34:26). Kehidupan dan sejarah
umat Allah berada di bawah pemberlakuan berkat dan kutuk (Ul 11:26).
3) Di dalam PB, seluruh pekerjaan Kristus dapat disimpulkan dengan
pernyataan bahwa Allah telah "mengutus-Nya kepada kamu, supaya Ia
memberkati kamu" (Kis 3:26). Kita melihat berkat-Nya diberikan
kepada anak-anak (Mrk 10:13-16) dan kepada para pengikut-Nya sementara
Ia diangkat dari bumi (Luk 24:50-51). Demikian juga, berkat telah
memainkan peranan yang penting dalam pelayanan para rasul (Rm 15:29).
4) Berkat Allah itu bersyarat. Umat Allah harus memilih berkat
karena ketaatan atau kutuk karena ketidaktaatan (Ul 30:15-18; Yer 17:5,7).
5) Bagaimanakah kita menerima berkat Tuhan? Tiga hal yang
dituntut: (a) Kita harus senantiasa mengharapkan dari Yesus berkat-Nya atas
pelayanan, pekerjaan, dan keluarga kita (Ibr 12:2). (b) Kita harus
percaya, mengasihi, dan taat kepada-Nya (Mat 5:3-11; 24:45-46; Why 1:3;
16:15; 22:7). (c) Kita harus menyingkirkan segala hal dari kehidupan kita
yang akan merintangi berkat (Rm 13:12; Ef 4:22; Ibr 12:1).
6) "Berkat" Allah tidak boleh disamakan dengan
keuntungan materiel perorangan atau ketiadaan penderitaan dalam kehidupan kita
(Ibr 11:37-39; Why 2:8-10
Hidup hanya bersandar kepada
Tuhan dan Firman-Nya akan membawakan kemenangan dalam kehidupan kini dan juga
nanti dan tentunya semua hanya dapat tergerak dengan Iman yang ada pada kita,
semakin besar dan teguh Iman kita kepada Yesus maka semakin besar pula
kemenangan yang diraih. (1Yoh 5:4) Iman yang mengalahkan dunia
adalah iman yang melihat realitas abadi, mengalami kuasa Allah dan kasih
Kristus sedemikian sehingga kesenangan dunia yang berdosa, nilai-nilai sekular,
cara-cara yang fasik dan materialisme yang mementingkan diri sendiri bukan saja
tidak lagi menarik bagi kita tetapi bahkan dilihat dengan rasa jijik. (Why 2:7) Pemenang
(Yun. _nikon_) adalah seorang yang, oleh kasih karunia Allah yang diterimanya
melalui iman pada Kristus, telah mengalami kelahiran baru dan tinggal tetap
dalam kemenangan atas dosa, dunia, dan Iblis.
1) Sekalipun
dikelilingi oleh pertentangan dan pemberontakan yang hebat, orang yang menang
itu akan menolak untuk menyesuaikan diri dengan dunia ini dan kefasikan yang
mungkin ada dalam jemaat (Why 2:24). Mereka mendengarkan dan menanggapi
apa yang dikatakan oleh Roh kepada jemaat-jemaat, tinggal setia kepada Kristus
sampai saat yang paling akhir (Why 2:26) dan hanya menerima standar
Allah yang dinyatakan dalam Firman-Nya yang kudus (Why 3:8).
2) Para pemenang
dalam jemaat-jemaat Allah, dan hanya mereka yang menang, akan makan dari pohon
kehidupan, tidak akan menderita kematian yang kedua (Why 2:11), akan
menerima manna yang tersembunyi dan akan diberikan nama baru di dalam sorga (Why
2:17), akan dikaruniai kuasa atas bangsa-bangsa (Why 2:26), nama
mereka tidak akan dihapus dari kitab kehidupan tetapi akan dihormati oleh Kristus
di hadapan Bapa-Nya dan para malaikat (Why 3:5), akan tinggal bersama
Allah dalam bait-Nya dan akan mengenakan nama Allah, Kristus, dan Yerusalem
Baru (Why 3:12), akan duduk bersama-sama dengan Kristus di atas
takhta-Nya (Why 3:21), dan akan menjadi anak-anak Allah untuk
selama-lamanya (Why 21:7).
3) Rahasia kemenangan
bagi para pemenang adalah kematian Kristus yang mendamaikan, kesaksian setia
mereka akan Yesus, dan ketekunan mereka dalam kasih kepada Kristus bahkan
sampai mati sekalipun (Why 12:11).
PENGUDUSAN
“Aku mengatakan hal ini secara manusia karena kelemahan kamu. Sebab
sama seperti kamu telah menyerahkan anggota-anggota tubuhmu menjadi hamba
kecemaran dan kedurhakaan yang membawa kamu kepada kedurhakaan, demikian hal
kamu sekarang harus menyerahkan anggota-anggota tubuhmu menjadi hamba kebenaran
yang membawa kamu kepada pengudusan” (Rm 6:19).
Makna dasar dari akar kata Ibrani gdsy antara
lain: (i)’menyendirikan’, (ii)’cemerlang’. Arti pertama mungkin menekankan
kekudusan atau pengudusan dalam arti posisi, status, nisbah, dalam mana kata
itu diterjemahkan ‘terpotong’, ‘dipisahkan’, ‘disendirikan untuk penggunaan
khusus’, ‘diserahkan untuk’, atau’disucikan’, ‘dianggap keramat atau suci lawan
dari yang
biasa, tercemar atau sekuler’.Arti kedua mungkin menekankan penggunaannya
berkaitan dengan keadaan, atau proses, yang dalam PB mengarah ke pemikiran tentang
perubahan batin yang terjadi berangsur-angsur, yg menghasilkan
kemurnian, kebenaran moral, dan pemikiran-pemikiran suci yang
menyatakan diri dalam perbuatan-perbuatan lahiriah yang baik
dan menurut kehendak Tuhan.
I.
Dalam PL
Dua
bentuk arti seperti diuraikan sesuai garis besar di atas barangkali secara umum
dapat disebut yg keimaman dan yg kenabian. Tapi keduanya tidak bertentangan.
Acuan utama keduanya ialah tertuju kepada Allah.
a.
Tuhan dilukiskan suci dalam keagungan, lain dalamsifat kelainan-Nya, sangat
jauh dari manusia, dosa dan dunia (bnd Kel 3:5; Yes 6:3). Manusia dianjurkan
untuk mengakui Tuhan semesta alam sebagai Yang Kudus (Yes 8:13). Dan Tuhan
berfirman akan menguduskan diriNya sendiri dan akan dikuduskan di dalam atau
oleh mereka. Artinya tuntutan kekuasaan-Nya yang berdaulat diakui (seperti Ia akan
dipermuliakan, yaitu bahwa keagungan-Nya akan diakui lewat sikap dan hubungan
umat-Nya dgn Dia). Sesuatu atau seseorang yang dikuduskan diakui sebagai yang
disendirikan oleh Tuhan maupun manusia (mis sabat, Kej 2:3; mezbah, Kel 29:37;
Kemah Pertemuan, Kel 29:44; jubah, Im 8:30; puasa, Yoel 1:14; rumah, Im 27:14;
padang, Im 27:17;umat, Kel 19:14; jemaat, Yoel 2:16; imam, Kel 28:41). Ini
tidak harus berarti menyangkut perubahan batin. Upacara ritual dari hukum
Taurat membuka kemungkinan mengampuni pelanggaran, atas mana umat Tuhan, yang telah
disendirikan oleh Tuhan agar menjadi milik-Nya saja untuk digunakan sebagai
alat-Nya, bersalah.
b.
Kendati hal-hal di atas terutama merupakan pengudusan lahiriah dan ritual
saja, namun semua hal itu disertai kenyataan batiniah yang
mendalam. Peringatan Tuhan, ‘Hendaknya engkau kudus
karena Aku kudus’, menuntut tanggapan moral dan spiritual dari umat, suatu
refleksi dari sifat-sifat moral-Nya mengenai kebenaran, kemurnian, kebencian
terhadap kejahatan, minat yang penuh kasih terhadap kesejahteraan orang
lain dalam ketaatan kepada kehendak-Nya; karena Yang Kudus dari Israel terlibat
aktif demi kebaikan umat-Nya (Kel 19:4) yang telah dipisahkan dari yang
jahat. Kekudusan-Nya adalah sekaligus transenden dan imanen (Ul 4:7; Mzm 73:28),
dan umat juga harus memilikiciri-ciri demikian. Para nabi sadar akan
bahayanyapengudusan lahiriah saja, justru mereka mengingatkan umat agar selalu
menghormati Tuhan; mereka bahkan melangkah lebih jauh lagi dengan menghinakan
upacara-upacara’kudus’yang lahiriah yg tanpa kekudusan perbuatan (#/TB
Yes 1:4-11; 8:13*). Anak-anak Israel menghinakan kekudusan Tuhan dengan hidup
tak suci di antarabangsa-bangsa. Mereka gagal menjalankan hukum kekudusan (#/TB
Im 17; 18; 19; 20; 21; 22; 23; 24; 25; 26*) yg memadukan secara mengagumkan
aspek-aspek moral dan ritual.
II.
Dalam PB
Dalam Injil-injil Sinoptik penggunaan kata kerja
‘menguduskan’ dapat bersifat seremonial atau ritual. Tuhan Yesus berbicara
tentang Bait Allah yang menguduskan emas, dan mezbah yg menguduskan persembahan
korban (#/TB Mat 23:17,19*). Di sini arti utamanya ialah pengudusan; emas dan
persembahan diserahkan,disendirikan, dan dianggap secara khusus suci dan
berharga oleh hubungannya dengan Bait Allah dan mezbah yg sudah suci. Dalam
pengertian yg sejajar, namun yg lebih tinggi dan lebih rohani karena menyangkut
lingkungan kepribadian, Kristus menguduskan diriNya sendiri bagi karya
pengorbanan-Nya, Sang Bapak menguduskan Dia, dan Ia meminta pengikut-Nya
‘menguduskan’ (memandang dgn hormat, yg suci memberi tempat yg unik terhadap)
Sang Bapak (Yoh 17:19; 10:36). Perluasan lebih lanjut dari pemikiran ini muncul
dalam hal Kristus menguduskan umat dengan darah-Nya sendiri (Ibr 13:12) dan
mungkin dalam Yoh 17:17 mengenai Bapak menguduskan orang percaya melalui firman
kebenaran.
Bertalian dengan #/TB Yoh 17:17* kata ‘mungkin’ sengaja
digunakan, karena ide ‘pengudusan’ di sini meluaskan artinya ke arah perubahan
moral dan spiritual. Surat Ibr menjembatani anti batiniah dan lahiriah dari
pengudusan. Kristus oleh pengorbanan-Nya menguduskan saudara-saudaraNya tidak
hanya dalam arti menyendirikan mereka, tapi juga dalam arti memperlengkapi
mereka bagi ibadah dan pelayanan kepada Tuhan. Ia melakukan hal ini dengan
mendamaikan dosa-dosa mereka (#/TB Ibr 2:17*) dan menguduskan hati nurani
mereka dari pekerjaan-pekerjaan maut (#/TB Ibr 9:13* dab). Pengudusan ini
janganlah dimengerti terutama sebagai suatu proses, melainkan sebagai kenyataan
yg digenapi, karena ‘oleh satukorban Ia telah menyempurnakan untuk selamanya
mereka yg dikuduskan’ (#/TB Ibr 10:10,14*). Namun nasihat agar tumbuh dalam
pengudusan bukannya tidak ada (lih #/TB Ibr 12:14*, dimana kekudusan lebih
menunjuk kpd keadaan ketimbang status).
Kendati ‘pengudusan’ dalam Ibr agak dekat dengan
‘pembenaran’ dalam Rm dan Gal, namun beda penggunaan kata ‘pengudusan’ dalam
ketiganya janganlah dibesar-besarkan. Paulus menggunakan ‘pengudusan’ dalam dua
arti juga. Dalam beberapa hal ia mengartikannya status yg diberikan kepada
orang percaya yg berada di dalam Kristus bagi pengudusan maupun pembenaran.
Kata jabaran ‘orang kudus’ terutama mengacu kepada status mereka di dalam
Kristus (’ dikuduskan di dalam Kristus Yesus’, #/TB 1Kor 1:2*; bnd #/TB 1Pet
1:2*). Pengudusan yg diperoleh merupakan hak istimewa bagi suami istri dan
anak-anak, jika salah seorang dari orangtua itu orang percaya; hal ini
lagi-lagi merupakan pengudusan secara status (#/TB 1Kor 7:14*).
Arti kedua dari pengudusan menurut Paulus, menyangkut
ihwal perubahan moral dan spiritual orang percaya yg sudah dibenarkan, yg sudah
dilahirkan kembali, dikaruniai hidup baru oleh Tuhan. Kehendak Tuhan ialah
pengudusan kita (#/TB 1Tes 4:3*). Dan mengalami dikuduskan secara keseluruhan
ialah menjadi serupa dengan citra Kristus, dan dengan demikian merasakan dalam
pengalaman arti menjadi citra Allah. Kristus adalah isi dan norma hidup yg
dikuduskan: hidup kebangkitan-Nya diciptakan kembali dalam diri orang percaya
sementara ia bertumbuh di dalam anugerah dan mencerminkan kemuliaan Tuhannya.
Dalam pengalaman yg terus-menerus perihal pembebasan dari hukum secara harfiah,
jiwa manusia dibebaskan oleh Roh Kudus (#/TB 2Kor 3:17,18*). Roh Kudus adalah
penggerak dalam pengudusan manusia, tapi Ia bekerja melalui firman kebenaran
dan doa iman, dan melalui persekutuan orang percaya (#/TB Ef 5:26*) sementara
mereka menguji diri sendiri dalam terang kasih Roh dan kekudusan yg tidak boleh
tidak harus ada (#/TB Ibr 12:14*). Iman, ygdilahirkan oleh Roh, menggenggam
sarana pengudusan itu.
Sebagaimana pembenaran berarti pembebasan dari hukuman
dosa, demikian pula pengudusan berartipembebasan dari pencemaran, kekurangan
dan kuasa dosa. Tapi dalamnya dan luasnya pembebasan dalam arti yg terakhir itu
masih dipersoalkan. Doa permohonan supaya Tuhan menguduskan orang percaya
sepenuhnya, sehingga jiwa, roh dan tubuh mereka terpelihara tanpa cacat sampai
kedatangan Kristus, diikuti oleh pernyataan bahwa ‘Ia yg memanggil kamu adalah
setia, Ia juga akan menggenapinya’ (#/TB 1Tes 5:23,24*). Ini menimbulkan tiga
pertanyaan penting.
a.
Apakah Tuhan melakukan pengudusan menyeluruhseketika?
Apakah pengudusan oleh iman berarti menerima pengudusan
menyeluruh sebagai anugerah sama seperti pembenaran, sehingga orang percaya itu
sekarang juga telah dibuat menjadi kudus, masukuntuk selama-lamanya ke dalam
kekudusan yg nyata dan praktis adalah suatu keadaan? Beberapa orang
mengemukakan bahwa dalam pengalaman krisis yg mengikuti pertobatan, kemanusiaan
yg lama disalibkan sekali untuk selamanya, dan akar dosa dicabut atau prinsip
dosa ditiadakan. Beberapa orang melangkah lebihjauh dan menekankan kebutuhan
akan penerimaan dan perbuatan karunia-karunia Roh (terutama karunia lidah)
sebagai bukti pekerjaan Roh itu. Yg lain memandang bahwa PB pasti menentang
pandangan ini, dan bahwa adanya surat-surat rasul dengan pernyataan-pernyataan
doktrin, alasan-alasan, himbauan dan nasihat, bertentangan dengan itu. Lih juga
di bawah ini.
b.
Apakah Tuhan melakukan pengudusan pada masa hidup orang percaya?
Di kalangan mereka yg menekankan ciri krisis dari
pengalaman pengudusan maupun mereka yg memandangnya lebih sebagai suatu proses,
terdapat orang-orang yg menyatakan diri sudah mencapai derajat tinggi dari
hidup yg dikuduskan itu. Dengan menggarisbawahi perintah seperti ‘haruslah kamu
sempurna’ (#/TB Mat 5:48*), dan tidak menafsirkan ‘kesempurnaan’ di sini dalam
arti ‘kedewasaan’, maka mereka mengatakan bahwa kasih yg sempurna dapat dicapai
dalam kehidupan kini di dunia ini.
Tapi tuntutan-tuntutan yg tinggi dalam arti ‘kesempurnaan
tanpa dosa’, biasanya mengecilkan baik bobot dosa maupun standar kehidupan
moral yg dituntut. Dosa dirumuskan sebagai ‘pelanggaran sukarela terhadap suatu
hukum yg diketahui’ (Wesley) ketimbang ‘setiap kekurangan dalam penyesuaian dengan
atau pelanggaran atas hukum Tuhan’ (Westminster Shorter Catechism). Rumusan
terakhir mencakup keadaan kita dan dosa-dosa akibat kelalaian maupun yg
dilakukan terbuka dan sengaja. Pendapat lain, dengan menyetujui bahwa kekudusan
yg tak terputuskan dan kesempurnaantanpa cela itu tidaklah mungkin, menyatakan
bahwa kendati demikian toh adalah mungkin mempunyai dengan sempurna motivasi yg
sempurna, ialah kasih.
c.
Apakah Tuhan akan melakukan pengudusan tanpa aktivitas orang percaya?
Mereka yg mengecilkan bobot dosa dan standar kekudusan yg
dituntut Tuhan, berada dalam bahaya memberi penekanan yg tidak tepat pada usaha
manusia dalam pengudusan. Tapi ada ekstrim yg berlawanan juga, yaitu yg
meletakkan keseluruhan tugas pengudusan melulu pada Tuhan. Tuhan diharapkan
akan menghasilkan orang kudus dengan segera, atau mengisi seorang Kristen
secara berangsur-angsur dengananugerah atau Roh. Ini memerosotkan manusia
menjadi hanya robot tanpa sikap moral, sehingga sebenarnya hanya melahirkan
pengudusan tak bermoral, suatu gagasan yg kontradiktif. Mereka yg membela watak
manusia menyangkal cara kerja Roh Kudus yg tidak berharkat pribadi sedemikian
itu. Mereka juga hati-hati terhadap tuntutan bahwa Roh bekerja langsung melalui
proses pikiran manusia secara tak disadari, ketimbang disadari.
Orang percaya tidak tahu betapa susahnya perjuangan
melawan dosa (#/TB Rom 7; 8*; #/TB Gal 5*), tapi harus sadar bahwa pengudusan
terjadi tidak hanya oleh usahanya sendiri melawan kecenderungan-kecenderungan
jahat ygada pada dirinya sendiri. Ada perkembangan dalam penggenapan moral,
tapi ada juga sesuatuyg secara misterius melakukan pengudusan di dalam dirinya.
Bahkan hal itu bukanlah kerjasama belaka, dalam
mana Roh dan orang percaya masing-masing menyumbang sesuatu. Tindakan
itu dapat disebut baik karya Roh maupun karya orang percaya dalam rahasia
anugerah. Tuhan, Roh itu, bekerja melalui pengakuan yg setia akan hukum
kebenaran dan tanggapan orang percaya dalam kasih. Dan semuanya menghasilkan
kedewasaan spiritual yg terungkap dalam menerapkan hukum kasih terhadap sesama.
Penggenapan pengudusan bagi orang percaya, yg oleh anugerah iman dalam karya
Kristus, oleh Roh ‘menguduskan diri sendiri’ (#/TB 1Yoh 3:3*), dinyatakan
dengan jaminan kepastian: ‘Kita tahu, bahwa apabila Kristus menyatakan diriNya,
kita akan menjadi sama seperti Dia, sebab kita akan melihat Dia dalam
keadaan-Nya yg sebenarnya’ (#/TB 1Yoh 3:2*).
KEPUSTAKAAN.
W Marshall, The Gospel Mystery of Sanctification, 1692, edisi 1955; J Wesley, A
Plain Accountof Christian Perfection, edisi 1952; C Hodge, Systematic Theology
3, 1871-1873; J. C Ryle, Holiness, edisi 1952; B.B Warfield, Perfectionism, 2
jld, 1931; R. E. D Clarke, Conscious and Unconscious Sin, 1934; N. H Snaith,
The Distinctive Ideas of the Old Testament, 1944; D. M Lloyd-Jones, Christ our
Sanctification, 1952; G. C Berkouwer, Faith and Sanctification, 1952; W. E
Sangster, The Path to Perfection, 1957; J Murray, Definitive Sanctification,
CTJ 2, 1967, hlm 5; K. F. W Prior, The Way of Holiness, 1967. GW/S
0 komentar:
Post a Comment