“Tuhan Allah mengambil manusia itu dan
menempatkannya dalam taman Eden
untuk mengusahakan dan memelihara taman
itu” (Kej. 2:15)
kehendak-Nya yang dinyatakan. Allah menempatkan Adam untuk
menangani taman secara sempurna
menggambarkan mandat budaya Allah yang diberikan. Kita harus melihat seluruh aturan, penciptaan, termasuk, tentu saja, sesama
kita dan kita sendiri, sebagai milik kita, sebagai tukang-tukang kebun Allah , bertanggung jawab untuk
mengusahakannya. Jangan pernah lupa bahwa kemuliaan Allah dan kebahagian manusia selalu dimaksudkan
untuk berjalan bersama! Di mana
kita benar-benar mempunyai yang terdahulu, kita akan mempunyai yang terkemudian
juga. Tidak dapat dikatakan terlalu sering bahwa dunia ini
dalam setiap arti dunia Allah, yang makhluk manusia-Nya harus belajar untuk menanganinya dengan
hormat, untuk pujian kepada-Nya.
2012
“Maka Allah melihat segala yang
dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik. Jadilah
petang dan jadilah pagi, itulah hari
keenam” (Kej. 1:31).
Dunia ada dalam keadaannya yang stabil sekarang ini oleh kehendak
kuasa
Penciptanya. Karena dunia merupakan dunia-Nya, kita bukan
pemiliknya yang bebas melakukan apa
yang kita suka, tetapi pemelihara, dapat menjawab kepada-Nya atas cara kita
menangani sumber-sumbernya. Disamping
itu, karena ini adalah dunia-Nya, kita tidak boleh meremehkannya. Banyak agama sudah membangun ide
bahwa aturan material realitas ketika dialami melalui tubuh, bersama tubuh yang mengalaminya adalah
jahat, dan sebab itu harus ditolak
dan diabaikan sejauh mungkin. Pandangan ini, yang memerosotkan penganutnya, kadang-kadang sudah menyebut diri orang Kristen,
tetapi sebenarnya sama sekali tidak kristiani.
Karena benda, dibuat oleh Allah, adalah baik di mata-Nya dan
begitu seharusnya di mata kita. Kita
melayani Allah dengan menggunakan dan menikmati hal-hal temporal dengan penuh syukur, dengan penghargaan yang tinggi bagi-Nya,
Pencipta mereka dan atas kemurahan-Nya memberikan semua itu kepada kita.
“Kami katakan ini karena kami dengar ada
orang yang tidak tertib hidupnya dan
tidak bekerja, melainkan sibuk dengan
hal-hal yang tidak berguna. Orang-orang yang demikian kami peringati dan nasehati dalam Tuhan Yesus Kristus, supaya
mereka tetap tenang melakukan pekerjaannya dan dengan demikian makan
makanannya sendiri” (2Tes. 3:11-12).
Allah sudah menetapkan kerja sebagai takdir kita, baik disini
maupun sesudahnya.
Sesudahnya? Ya, di kota surgawi “hamba-hamba-Nya akan beribadah
kepada-Nya” dan kita akan
memerintah sebagai raja sampai selama-lamanya (Why. 22:3,5), semuanya berarti
bekerja secara aktif. Apa alasan-Nya merencanakan kehidupan
kita dengan cara demikian? Kita melihat jawabannya ketika kita memerhatikan apa yang terjadi selama kita
bekerja. Kita akan menemukan
potensi kita sebagai tukang, belajar melakukan hal-hal dan mengembangkan ketrampilan, yang menyenangkan. Kita juga menemukan
potensi dunia Allah sebagi bahan mentah bagi kita untuk digunakan, diatur, dan dijadikan bentuk,
yang juga mengasyikkan. Seandainya
kita, yang sudah diciptakan sedemikian, menjadi malu bekerja dan hanya
memanjakan diri dengan bermalas-malasan dan mengejar kesenangan,
seharusnya kita menghukum diri dengan ketidakpuasan yang mendalam
dengan hidup.
“Aku melihat bahwa tidak ada yang lebih
baik bagi manusia daripada bergembira
dalam pekerjaannya, sebab itu adalah bahagiannya.
Karena siapa akan memperlihatkan kepadanya apa yang
akan terjadi sesudah dia?” (Pkh. 3:22),
Allah menciptakan kita untuk bekerja, sifat manusia hanya
menemukan pemenuhan
dan kepuasan ketika kita mempunyai pekerjaan untuk dilakukan. Ini
tampak dari cerita penciptaan,
yang memberitahu bahwa Allah menempatkan Adam “di dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu” (Kej. 2:15).
Pekerjaan itu pastilah menuntut pikiran dan usaha yang terus-menerus; meskipun demikian pastilah merupakan
kemitraan yang berbahagia dengan Allah
sepanjang jalan, mengatur kehidupan alami dan membentuk pertumbuhan spontan yang Allah berikan kepada
pohon-pohon dan tanam-tanaman, dan Adam pasti sudah melihat dirinya sebagai memenuhi panggilan manusianya.
Seandainya Allah tidak
meminta kita, yang di buat seperti kita sekarang, untuk bekerja di
dunia-Nya, pengalaman pemenuhan
atas berbagai hal ini tidak akan menjadi milik kita. Tidak ada bentuk kerja
dapat menjamin bahwa kebajikan, kasih, dan sukacita akan
pernah menandai kita seandainya hidup kita tidak mempunyai bentuk pekerjaan dalam semua hal.
“Peringatkanlah kepada orang-orang kaya di
dunia ini agar mereka jangan tinggi
hati dan jangan berharap pada sesuatu yang
tak tentu seperti kekayaan, melainkan pada Allah yang dalam kekayaan-Nya memberikan kepada kita segala sesuatu
untuk dinikmati” (1Tim.6:17).
Allah memberi kepada kita semua hal untuk dinikmati, Ia
berkehendak untuk
dimuliakan melalui pelajaran kemanusiaan untuk menghargai dan
mengagumi kebijaksanaan dan kebaikan-Nya
sebagai Pencipta. Dengan kata lain, Allah menugaskan manusia untuk membangun budaya dan peradaban. Langsung pada awal,
Allah mengenalkan Adam kepada panggilan
yang ditentukan baginya dengan menempatkannya sebagai penguasa Taman. Adam harus belajar melihat seluruh aturan yang diciptakan
sebagai milik di mana ia sebagai tukang kebun Allah, bertanggung jawab untuk mengusahakannya. Manusia
bukan diciptakan untuk
menjadi orang barbar, atau hidup dalam kebuasan, manusia
diciptakan untuk memerintah alam, menguasainya, dan menikmati buah-buahnya, bagi
kemuliaan Allah sang Pecipta, menurut prinsip yang tertulis dalam 1Timotius 4:4 “Karena
semua yangdiciptakan Allah itu baik dan suatu pun tidak ada yang haram, jika diterima dengan
ucapan syukur.”
sepakat dengan artikel diatas. Dunia memang merupakan tempat kita hidup dan bekerja, selain itu juga merupakan tempat untuk kita beribadah kepada Allah SWT :)
ReplyDeletethanks mas atas share nya ya :)