Dalam kehidupan
ini setiap kita pasti pernah mengalami kepahitan dalam hidup dan merasakan
ketidakberdayaan dalam menghadapi suatu persoalan kehidupan. Sejak awal, satu
hal yang menjadi sangat jelas bagi kebanyakan dari kita adalah bahwa hidup ini
penuh dengan konflik, perjuangan dan perang. Banyak orang menerima ini sebagai
fakta, tanpa mengajukan pertanyaan apa pun. Namun, apabila kita mulai
merenungkan hal ini kepada diri sendiri akan muncul beragam pertanyaan, apa
alasan terjadinya semua konflik di dalam hidup kita? mengapa ada perang di
dalam dunia kita? mengapa ada perjuangan, pergumulan, dan perselisihan? Apakah
Alkitab memberi kita keterangan yang jelas mengenai alasan yang sebenarnya
untuk semua konflik ini?
Perjanjian Baru,
mengajarkan kepada kita bahwa perang dan memiliki sikap “Prajurit Rohani”
adalah suatu bagian normal dari kehidupan Kristen. Konflik bukanlah sesuatu
yang luarbiasa yang dihadapi hanya oleh sedikit orang Kristen. Alkitab
mengajarkan bahwa semua orang Kristen harus siap menghadapi konflik dan
peperangan di alam rohani.
“Memang kami masih hidup di dunia, tetapi kami tidak
berjuang secara duniawi. Karena senjata kami dalam perjuangan bukanlah senjata
duniawi, melainkan senjata yang diperlaengkapi dengan kuasa Allah, yang sanggup
untuk meruntuhkan benteng-benteng. Kami mematahkan setiap siasat orang dan
merubuhkan setiap kubu yang dibangun oleh keangkuhan manusia untuk menentang
pengenalan akan Allah. Kami menawan segala pikiran dan menaklukannya kepada
Kristus”. (2 Kor.
10:3-5).
Prajurit Kristen
Dalam pasal 10
ayat 3-5 pada kitab Korintus di atas, Paulus berbicara tentang semua orang
Kristen. Ia mengatakan kita berjuang bukan secara duniawi melainkan di alam
roh. Kita mempunyai
senjata untuk peperangan dan kita menyerang serta meruntuhkan benteng-benteng.
Paulus menggunakan empat ekspresi militer dalam tiga ayat ini: perang, senjata, meruntuhkan
benteng-benteng, menawan. Inilah suatu yang sangat esensial dan tak
terpisahkan dari kehidupan Kristen. Perjanjian Baru tidak memaparkan orang
Kristen pada posisi bertahan, tetapi pada posisi menyerang. Inilah yang seharusnya menjadi penekanan dalam kehidupan
kita sebagai orang Kristen, yang harus aktif dalam berperang di dalam alam rohani,
intinya kemalasan dalam rohani adalah hal yang harus diwaspadai dan harus
menjadi hal utama yang wajib didahulukan kita perhatikan dan senantiasa kita
melakukan perbaikan serta senantiasa bertumbuh dalam pertumbuhan yang baik dan
terus meningkat.
“Dan Aku pun berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus
dan di atas batu karang ini. Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak
akan menguasainya”.
(Mat. 16:18)
Yesus
mengajarkan kepada kita untuk menjadi kokoh dan kuat, sekuat batu karang yang
tahan oleh hempasan gelombang ombak laut yang menerpa. Kita disini diharapkan
berperan aktif dalam melaksanakan peperangan ini, Allah telah mengulurkan
tangan-Nya dan menunggu kita merengkuh tangan-Nya dan bersama “menggempur”
musuh kita.
“Tugas ini kuberikan kepadamu; Timotius anakku, sesuai
denga apa yang telah dinubuatkan oleh nubuat itu tentang dirimu, supaya
dikuatkan oleh nubuat itu engakau memperjuangkan perjuangan yang baik dengan
iman dan hati nurani yang murni”. (1Tim. 18)
Dengan kata lain
Paulus mengingatkan kepada Timotius akan nubuat yang sudah diterima, dan sesuai
nubuat itu ia diminta untuk mengobarkan peperangan yang baik. Ia harus melayani
dengan sepenuh hati, dengan keberanian dan dedikasi dalam perang rohani yang
merupakan akibat langsung dari komitmennya dalam melayani Yesus Kristus.
“ Ikutlah menderita sebagai seorang prajurit yang baik
dari Kristus Yesus. Seorang prajurit yang sedang berjuang tidak memusingkan
dirinya dengan soal-soal penghidupannya, supaya dengan demikian ia berkenan
kepada komandannya”
(Tim. 2:3-4).
Sebagai seorang
prajurit yang terlibat dalam peperangan rohani, yang dipilih untuk peperangan
ini oleh Tuhan Yesus Kristus. Oleh karena itu, ia harus berperilaku sesuai
dengan posisinya sebagai prajurit.
Kehidupan orang
Kristen bukanlah sekedar kehidupan yang manis dengan alunan musik harpa; setiap
orang Kristen yang berkomitmen akan mendapatkan peperangan sebagai dari
pengalaman totalnya. Pemerintahan surgawi kita sedang berperang melawan
kerajaan Iblis. Jadi, kita diminta untuk mengambil tempat sebagai prajurit
dalam perang ini. Kebenaran mengenai peperangan rohani ini ditegaskan melalui
cara Alkitab berbicara tentang Allah (diri-Nya sendiri) sebagai panglima
militer, dapat kita lihat di keluaran 15:3-4, Yosua 5:13-15 dan masih banyak
lagi ayat-ayat dalam Alkitab yang menyatakan tentang itu.
Bagaimana Perang Dimulai?
Hingga kini kita
mungkin belum juga mendapatkan jawaban dari latar belakang yang menyebabkan
konflik sering terjadi di dunia ini? apakah akar penyebab peperangan dan
kerusuhan dimana-mana? Siapa sajakah kekuatan berlawanan yang terlibat? Kita
sudah melihat bahwa Allah adalah panglima perang, dan kita adalah bagian dari
bala tentara di bawah perintah-Nya. Akan tetapi dengan apa dan dengan siapa Ia
berperang?
Latar belakang
atau akar penyebab dari semua kerusuhan, konflik dan perang adalah karena satu
sebab yaitu pemberontakan. Inilah
akar permasalahan di alam semesta ini yaitu: pemberontakan melawan pemerintahan
yang benar dari Allah, dunia kita sekarang penuh dengan pemberontak.
Bagaimanakah
kita dapat menyelesaikan persoalan tersebut? Masalah manusia dapat digambarkan
dengan tiga bagian utama dari sebuah pohon: cabang, batang dan akar. Jika kita
berharap menyingkirkan sebatang pohon, tetapi hanya memotong beberapa cabang,
kita belum benar-benar mengubah banyak hal. Batanglah yang menopang cabang dan
akarlah yang memberi makan batang.
Sebagai contoh: apabila
ada seorang wanita yang menjadi pencandu alkohol, kecanduan alkohol hanyalah
gejala atau cabang. Kita perlu meneliti lebih jauh ke bawah batang dan akar,
yaitu, sikap dan hubungannya dengan suaminya. Barangkali suaminya tidak setia,
menghabiskan uang dengan cara yang tidak ia setujui dan menganiaya anak-anaknya
secara emosional. Kegetiran dan kemarahan yang ia timbun terhadap suaminya adalah
batang dan akar. Kita harus menangani sikap dan hubungannya dengan suaminya,
apakah ia bersedia mengampuni suaminya dan menerimanya? Kalau tidak, walaupun
ia berhasil melepaskan diri dan kecanduan alkohol, ini akan disusul dengan
kecanduan lain atau masalah serupa.
Dalam
memperkenalkan pesan Yesus dan Injil kepada manusia, Yohanes pembaptis membuat
pernyataan tegas: “Kapak sudah tersedia
pada akar pohon dan setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik pasti
ditebang dan dibuang ke dalam api” (Mat. 3:10). Suatu pesan Injil yang
terkesan radikal, dimana apabila kita
terus menerus menolak dan memberontak maka bersiaplah untuk ditebang dan
dicampakan ke dalam api yang menyala.
Marilah kita
lihat sejenak Doa Bapa Kami, sebuah perikop yang sangat tidak asing lagi dalam
Kitab suci.
“Karena itu berdoalah demikian: Bapa kami yang di
sorga, Dikuduskanlah nama-Mu, datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di
bumi seperti di sorga. Berikanlah kepada kami pada hari ini makanan kami yang
secukupnya dan ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni
orang yang bersalah kepada kami; dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan,
tetapi lepaskanlah kami dari pada yang jahat. (karena Engkaulah yang empunya
Kerajaan dan kuasa dan kemuliaan sampai selama-lamanya. Amin). (Mat. 6:9-13)
Frasa pada
pembuka dari perikop ini mendifinisikan keseluruhan atmosfer doa ini. Pertama,
kita berdoa sebagai anggota dari satu tubuh. Kita tidak berdoa Bapa “ku”, kita
mengatakan Bapa “kami”, ada orang
lain disamping diri kita yang terlibat dalam hubungan ini dengan Allah. Salah
satu masalah terbesar yang orang alami adalah mereka berpikir tidak ada orang
lain yang menderita seperti yang mereka alami!. Alkitab mengajarkan kepada kita
untuk memandang diri kita sebagai satu anggota bersama dalam satu tubuh. Kata
kami sangat penting; “Bapa kami”, kita diingatkan bahwa kita adalah anak
laki-laki dan anak perempuan Allah. Kita berhak datang kepada Dia sebagai Bapa,
tetapi kita tidak boleh lupa bahwa kita mempunyai saudara dan saudari di dalam
keluarga surgawi kita.
Kemudian, kita
harus belajar kagum dan hormat: “Dikuduskanlah
nama-Mu”. Namun hanya sebagian kecil dari kita sekarang ini yang masih
menaruh penghormatan yang murni kepada Allah. Kita mungkin menuntut penyesuaian
perilaku sebelah luar, tetapi itu sangat berbeda dengan menaruh hormat kagum
dan takut kepada Allah yang Mahakuasa.
Frasa berikutnya
adalah “Datanglah Kerajaan-Mu” Allah
mempunyai sebuah Kerajaan dan maksud-Nya yang tertinggi dalam masa ini adalah
membawa Kerajaan-Nya supaya berwujud di bumi. Ketika kita mengatakan “Datanglah Kerajaan-Mu”, kita menyiapkan diri
untuk maksud Allah . ini bukan sekedar sebuah frasa religius yang bagus.
Disini berarti kita mengatakan, “Allah, datanglah Kerajaan-Mu, dan disinilah
aku, siap untuk memainkan bagianku dalam kedatangan Kerajaan-Mu”. Dengan kata
lain kita telah mengidentifikasikan diri kita dengan maksud Allah.
Lalu, kita
berkata “Jadilah kehendak-Mu di bumi
seperti di surga”. Bagaimanakah kehendak Allah terjadi di surga? Ini
dilaksanakan secara sempurna. Tidak ada rintangan, tidak ada frustasi dan tidak
ada penundaan, kehendak Allah berjalan sempurna di surga. Yesus mengajarkan
kita untuk mendoakan hal yang sama terjadi di bumi . jika Yesus mengajarkan kita
untuk mendoakan itu, maka kita harus percaya bahwa semua itu akan terjadi. Kita
tidak percaya bahwa Yesus akan mengajarkan kita untuk mendoakan sesuatu yang
sama sekali mustahil. Akan tetapi ketika kita berdoa “Jadilah kehendak-Mu di
bumi” kita tahu dimana itu harus dimulai? Pada diri kita! kita harus menundukkan diri tanpa syarat pada
kehendak Allah. Kita mendapatkan bahwa itu berarti, “Tuhan, saya tidak akan memberontak lagi”. Namun, banyak orang yang
terus mengucapkan doa Bapa Kami tidak pernah menyadari apa yang menjadi komitmen mereka. Kita mendapatkan bahwa
orang tidak akan pernah memiliki kedamaian batin yang dalam, mantap dan
permanen sebelum mereka menundukkan diri sepenuhnya kepada Allah yang
Mahakuasa. Inilah pesan yang tersirat dalam pesan Yesaya 57:19-21 “Aku akan menciptakan puji-pujian. Damai
sejahtera bagi mereka yang jauh dan bagi mereka yang dekat- firman TUHAN – Aku
akan menyembuhkan dia!. Tetapi orang-orang fasik adalah seperti laut yang
berombak-ombak sebab tidak dapat tetap tenang, dan arusnya menimbulkan sampah
dan lumpur. Tiada damai bagi orang-orang fasik itu” firman Allahku.
Allah menawarkan
damai sejahtera yang hakiki dan kesembuhan kepada semua orang tidak terkecuali.
Tetapi sebagian tidak pernah menerima damai sejahtera tersebut karena mereka
tidak pernah menyerahkan senjata pemberontakan mereka. Selama kita
mempertahankan sikap memberontak, kita tidak dapat tenang, kita sama seperti
ombak laut yang terus bergulung dan pecah, menimbulkan sampah dan lumpur di
tepiannya. Bukti paling meyakinkan bahwa kita menjalani kehidupan yang benar
adalah, kita mempunyai kedamaian batin yang dalam, mantap dan permanen.
Kesombongan Awal Dari Kehancuran
Kesombongan
adalah sebuah awal dari pemberontakan kepada Tuhan, dalam Alkitab telah banyak
dikisahkan akhir dari orang-orang yang bersifat sombong. Kesombogan yang muncul
dari berkat yang Allah sendiri adalah pencipta-Nya. Allah yang telah memberi
kekuasaan, otoritas, kecakapan, kecantikan, hikmat dan semua karunia yang tak
dapat kita sebutkan satu persatu namun semua itu malah mengubahnya menjadi alat
untuk kehancuran bagi diri sendiri. Dimana dengan semua yang telah Dia berikan
malah membuat kita lupa dan menjadi melupakan siapa yang telah memberikan dan
menjadikan kita “takabur” serta melupakan nikmat yang telah diberikan.
“Engkau sombong karena kecantikanmu, himatmu
kaumusnahkan demi semarakmu. Ke bumi kau Kulempar, kepada raja-raja engkau
Kuserahkan menjadi tontonan bagi matanya” (Yeh. 28:17).
Hati Lucifer
yang telah menjadi sombong telah menjadikan ia lupa akan segalanya, segala
berkat yang telah Allah berikan malah membuat mata hatinya menjadi silau dan
membutakan pikirannya oleh karena itu, Allah melemparkan ke bumi dan menjadi
bahan “tontonan”. Sebelumnya, Lucifer adalah seorang makhluk yang baik dan tak
bercela namun manakala semakin ia di tinggikan semakin ia menjadi angkuh.
“Gambar dari kesempurnaan engkau, penuh hikamat dan
maha indah. Engkau di taman Eden, yaitu taman Allah penuh dengan segala batu
permata yang berharga: yapis merah, krisolit, dan yaspis hijau, permata pirus,
krisopras dan nefrit, lazurit, batu darah dan malakit. Tempat tahtanya
diperbuat dari emas dan disediakan pada hari penciptaanmu. Kuberikan tempatmu
dekat kerub yang berjaga, di gunung kudus Allah engkau berada dan
berjalan-jalan di tengah batu-batu yang bercahaya-cahaya. Engkau tak bercela di
dalam tingkah lakumu sejak hari penciptamu sampai terdapat kecurangan padamu”
(Yeh. 28:12-15)
Inilah sebuah
gambaran hidup dari Lucifer jauh sebelum ia di buang dari gunung kudus Allah,
dimana ia di tempatkan pada sebuah suasana yang begitu indah dan megah serta
ditambah dengan kemegahan yang ia peroleh pada dirinya yang Allah berikan.
Namun sayang Lucifer tidak dapat memegang “amanat” yang telah Allah berikan kepadanya
malahan ia memberontak kepada Allah dengan sifat keangkuhannya. Dalam hal ini
Yesus menggambarkan kepada murid-murid-Nya sebuah adegan yang telah Ia saksikan
di langit berabad-abad yang lalu. Ia memperingatkan mereka tentang bahaya
keangkuhan, “Lalu kata Yesus kepada
mereka: “Aku melihat Iblis jatuh seperti kilat dari langit. sesungguhnya Aku
telah memberikan kuasa kepada kamu untuk menginjak ular dan kalajengking dan
kuasa untuk menahan kekuatan musuh, sehingga tidak ada yang akan membahayakan
kamu” (Luk. 10: 18-19)
Ketika Lucifer
di buang dari langit, ia tidak menghentikan pemberontakannya, tetapi ia
melanjutkannya dengan mendirikan kerajaannya sendiri yang berlawanan dengan
Kerajaan Allah. Yesus mengungkapkan bahwa Iblis memiliki kerajaannya sendiri:
“Setiap kerajaan yang terpecah-pecah pasti binasa, dan setiap rumah tangga yang
terpecah-pecah, pasti runtuh. Jikalau Iblis juga terbagi-bagi dan melawan
dirinya sendiri, bagaimanakah kerajaannya dapat bertahan?”.
Kesombangan
berasal dari hati yang telah tercemar dan berlanjut pada perkataan, kemudiaan
perbuatan kita menjadi jauh dari cerminan kemuliaan Allah. Jagalah hati kita
dengan penuh kewaspadaan jangan sampai terjatuh dalam bahaya keangkuhan, “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan,
karena dari situlah terpancar kehidupan” (Ams. 4:23). Jiwa adalah ego
individual yang ada di dalam setiap kita, jiwa dapat mengatakan “aku mau” atau
“aku tidak mau”. Jiwa mengoperasikan “kemudi” yang kita gunakan untuk
mengarahkan jalan kita melewati hidup, kemudi dalam dri kita tak lain
dikemudikan oleh “lidah” sesuatu benda yang kecil namun dapat menjadi alat yang
sangat membahayakan bagi kita dan juga orang lain. “Saudara-saudaraku, janganlah banyak orang di antara kamu mau menjadi
guru; sebab kita tahu, bahwa sebagai guru kita akan dihakimi menurut ukuran
yang lebih berat. Sebab kita semua bersalah dalam banyak hal; barangsiapa tidak
bersalah dalam perkataannya, ia adalah orang yang sempurna, yang dapat juga
mengendalikan seluruh tubuhnya. Kita mengenakan kekang pada mulut kuda,
sehingga ia menuruti kehendak kita, dengan jalan demikian kita dapat juga
mengendalikan seluruh tubuhnya. Dan lihat saja kapal-kapal, walaupun amat besar
dan digerakkan oleh angin keras, namun dapat dikendalikan oleh kemudi yang amat
kecil menurut kehendak jurumudi. Demikian juga lidah, walaupun suatu anggota
tubuh yang kecil dari tubuh, namun dapat memegahkan perkara-perkara yang besar.
Lihatlah, betapun kecilnya api, ia dapat membakar hutan yang besar” (Yak.
3:1-5).
Motif dari pemberontakan
Lucifer itu sendiri adalah ambisinya untuk menyamakan diri dengan Allah, itulah
suatu keangkuhan dan kesombongan yang membawanya kepada jurang kehancuran. “Wah, engkau sudah jatuh dari langit, hai
Bintang Timur, putera Fajar, engkau sudah dipecahkan dan jatuh ke bumi, hai
yang mengalahkan bangsa-bangsa! Engkau yang tadinya berkata dalam hatimu: Aku
hendak naik ke langi, aku hendak mendirikan tahtaku mengatasi bintang-bintang
Allah, dan aku hendak duduk di atas bukit pertemuan, jauh di sebelah utara. Aku
hendak naik mengatasi ketinggian awan-awan, hendak menyamai Yang Mahatinggi!
Sebaliknya, ke dalam dunia orang mati engkau diturunkan, ke tempat yang paling
dalam di liang kubur” (Yes. 14:12-15).
Kerendahan Hati dasar kesuksesan hidup
Merendahkan diri
adalah masalah kehendak, bukan emosi. Ini adalah keputusan yang setiap kita
harus buat untuk diri sendiri. Hal ini tidak dapat dipaksakan semua berpulang
kembali kepada pribadi lepas pribadi, Allah tak pernah memaksakan kehendak
kepada setiap kita. Kita diciptakan oleh-Nya bukan seperti robot yang khusus diprogram
untuk mengikuti semua kemauan yang menciptanya. Kita adalah seorang manusia
yang telah Allah perlengkapi dengan akal budi dimana ia dapat mengendalikan
dirinya ataukah membiarkan dirinya di kendalikan oleh akalnya sendiri. Butuh
kerelaan hati dalam melaksanakan hal ini, dimana manusia sendiri memiliki ego
yang tertanam dalam dirinya. Paulus dengan jelas menggambarkan Yesus yang
merendahkan diri.
“Yang walaupun dalam rupa Allah, tidak mengganggap
kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan
telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan
menjadi sama dengan manusia. dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah
merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib” (Flp.
2:6-8)
Ayat-ayat ini
mengikhtisarkan bagi kita tujuh langkah besar ke bawah yang Yesus ambil dari
kemuliaan surga menuju kematian-Nya di kayu salib:
1.
Ia
menjadikan diri-Nya tanpa reputasi, Ia mengosongkan diri-Nya.
2.
Ia
mengambil rupa seorang hamba. Ia adalah Tuhan segala kemuliaan, tetapi Ia
melangkah turun untuk menjadi seorang hamba.
3.
Ia
menjadi sama dengan manusia. Ia menjadi anggota ras Adam, dibuat sedikit lebih
rendah daripada malaikat.
4.
Dan
dalam keadaan sebagai manusia. Ia tampak persis seperti manusia normal pada
masa-Nya. Tidak ada penampilan luar yang membedakan-Nya dengan orang-orang yang
hidup di sekelilingnya.
5.
Ia
telah merendahkan diri-Nya. Ia adalah seorang manusia yang sederhana. Ia bukan
seorang imam atau penguasa, melainkan seorang anak tukang kayu.
6.
Ia
taat sampai mati. Ketaatannya yang sempurna akhirnya membawa Dia pada
kematian-Nya yang menebus dosa manusia.
7.
Bahkan
sampai mati di kayu salib. Penyaliban adalah hukuman mati paling menyakitkan
bagi orang paling jahat yang telah melakukan kejahatan yang paling keji.
Itulah ketujuh
langkah besar ke bawah yang Tuhan Yesus ambil. Akan tetapi, ketujuh langkah
besar ke bawah itu membawanya ke tujuh langkah besar menuju ke atas yang
digambarkan di dalam:
“Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan
kepada-Nya nama di atas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut
segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi,
dan segala lidah mengaku: “Yesus Kristus adalah Tuhan,” bagi kemuliaan Allah,
Bapa!” (Flp. 2:9-11)
Disini kita
mempunyai tujuh langkah naik yang meninggikan Yesus:
1.
Allah
sangat meninggikan Dia.
2.
Allah
mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama.
3.
Dalam
nama Yesus, semua bertekuk lutut.
4.
Segala
yang ada di langit, yaitu, semua penghuni ciptaan yang melayani Allah di
langit.
5.
Yang
ada di atas bumi. Semua makhluk di atas bumi akan tunduk pada kuasa Kristus.
6.
Yang
ada di bawah bumi. Ini mencakup maut, neraka, kubur dan juga orang tidak benar
yang sebelumnya sudah menolak kemurahan Allah.
7.
Segala
lidah mengaku bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan. Ke-Tuhanan Yesus akan dinyatakan di semua wilayah alam
semesta.
Di dalam semua
ini, pola sempurna yang ditetapkan di hadapan kita adalah Yesus. Paulus
mendorong kita sebagai pengikut Yesus untuk merendahkan diri:
“Dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau
puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang
menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri; dan janganlah
tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan
orang lain juga. Hendaklah kamu dalam hdiupmu bersama, menaruh pikiran dan
perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus” (Flp. 2:3-5)
Motivasi yang
Paulus tidak anjurkan adalah mencari kepentingan diri sendiri dan puji-pujian
yang sia-sia. Hanya ada satu jalan untuk ditinggikan yaitu dengan merendahkan
diri. Dalam Lukas 14:11, Yesus
menyatakan prinsip ini dengan sangat jelas: “Sebab barangsiapa meninggikan
diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan
ditinggikan”. Inilah prinsip tetap yang mutlak, tidak ada pengecualiaan!
Seperti dinyatakan dalam Amsal 18:12
“Kerendahan hati mendahului kehormatan”
Pada saat ini,
setiap kita dihadapkan pada kebutuhan untuk membuat keputusan pribadi akankah
kita menjadi sesorang yang rendah hati ataukah sebaliknya semua tergantung
kepada diri kita. sebagai respon mungkin kita terdorong untuk berdoa, “Tuhan,
aku perlu merendahkan diri. Tolong buat aku menjadi rendah hati”. Namun, betapa
mengejutkannya bagi kita karena Allah menjawab, “Aku tidak dapat melakukan itu.
hanya engkau yang dapat merendahkan hatimu sendiri”. Dalam hal merendahkan diri
ini, Yesus memberikan contoh pada saat Ia berbicara tentang para tamu yang
diundang ke pesta perkawinan:
“Kalau seorang mengundang engkau ke pesta perkawinan,
janganlah duduk di tempat kehormatan, sebab mungkin orang itu telah mengundang
seorang yang lebih terhormat dari padamu, supaya orang itu, yang mengundang
engkau dan dia, jangan datang dan berkata kepadamu: Berilah tempay ini kepada
orang itu. lalu engkau dengan malu pergi duduk di tempat yang paling rendah.
Tetapi, apabila engakau diundang, pergilah duduk di tempat yang paling rendah.
Mungkin tuan rumah akan datang dan berkata kepadamu: Sahabat, silakan duduk di
depan. Dan dengan demikian engkau akan menerima hormat di depan mata semua tamu
yang lain. Sebab barangsiapa meninggikan
diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan”
(Luk. 14:8-11)
0 komentar:
Post a Comment