Jawaban
yang Sulit Dipahami
Hidup memang sulit dipahami.
Saat mencoba mengatasi kenyataan pahit yang kita alami, kita mudah mengalami
frustrasi. Kita ingin mendapat jawaban atas masalah-masalah kita yang menumpuk.
Kita bahkan bertanya-tanya apakah kita bisa benar-benar memahami mengapa
hal-hal buruk menimpa orang-orang yang baik dan mengapa hal-hal yang baik
justru dinikmati orang-orang yang jahat. Jawabannya kerap kali sulit dipahami,
tersembunyi, dan di luar jangkauan pemikiran kita. Jika seorang teroris
terbunuh oleh bom yang ia pasang sendiri, kita bisa memakluminya. Kita juga
maklum jika pengendara yang ceroboh mengalami kecelakaan yang serius. Kita pun
maklum jika orang yang bermain-main dengan api, terbakar. Kita bahkan lebih
maklum lagi jika seorang perokok berat menderita kanker paru-paru. Namun
bagaimana jika pria, wanita, dan anak-anak yang tak berdosa terbunuh oleh bom
seorang teroris? Bagaimana dengan pengemudi muda yang harus menderita kerusakan
otak karena seorang pemabuk membelokkan mobilnya secara tiba-tiba? Bagaimana dengan
orang yang rumahnya tiba-tiba terbakar bukan karena kesalahan yang
dilakukannya? Dan bagaimana dengan anak usia dua tahun yang menderita leukemia?
Alangkah berbahayanya, bahkan
suatu hal yang bodoh, jika kita pura-pura tahu secara lengkap jawaban mengapa
Allah mengizinkan penderitaan. Alasannya amat banyak dan kompleks. Kita pun
salah jika kita menuntut agar kita harus tahu alasannya. Ketika Ayub yang
menderita, yang dikisahkan dalam Perjanjian Lama menyadari bahwa ia tidak
berhak menuntut jawaban dari Allah, ia berkata, "Itulah sebabnya, tanpa
pengertian aku telah bercerita tentang hal-hal yang sangat ajaib bagiku dan
yang tidak kuketahui" (#/TB Ayub 42:3). Namun Allah telah memberi
kita beberapa jawaban. Meskipun kita mungkin tidak dapat memahami mengapa
seseorang bisa terserang penyakit, tetapi kita dapat mengerti sebagian alasan
mengapa penyakit itu muncul. Dan bahkan meskipun kita tidak mengerti mengapa
kita mengalami suatu masalah tertentu, kita dapat mengerti bagaimana kita
mengatasi masalah itu dan menanggapinya dengan cara yang berkenan bagi Tuhan.
Saya tidak akan pura-pura
mengerti sepenuhnya tentang penderitaan yang mungkin Anda alami sendiri.
Meskipun beberapa aspek dari penderitaan manusia adalah hal yang umum, tapi ada
hal-hal yang berbeda. Dan apa yang mungkin paling Anda butuhkan saat ini bukan
empat garis besar atas pertanyaan mengapa Anda menderita atau bahkan bagaimana
cara Anda mengatasinya. Yang mungkin paling Anda butuhkan adalah pelukan, orang
yang mau mendengarkan, atau seseorang yang bersedia menemani Anda. Namun
kadang-kadang pada saat seperti itu, Anda ingin mengetahui kebenaran firman
Allah untuk menghibur Anda dan membantu Anda melihat penderitaan Anda dari
sudut pandang Allah. Anda dan saya membutuhkan lebih dari sekadar teori yang
belum teruji kebenarannya. Itulah sebabnya di halaman-halaman berikut saya
mencoba untuk mencantumkan pandangan dari orang-orang yang telah mengalami
berbagai penderitaan baik fisik maupun emosi. Saya berdoa bagi Anda agar iman
Anda di dalam Allah tetap teguh ketika dunia seakan runtuh menimpa Anda.
Mengapa
Tuhan yang Baik Mengizinkan Penderitaan?
Di manakah Allah ketika kita
sedang menderita? Jika Dia baik dan sabar, mengapa kehidupan kerap kali
demikian tragis? Apakah Dia telah kehilangan kendali? Atau, jika Dia tetap
memegang kendali, apa yang ingin Dia lakukan bagi saya dan orang-orang lain? Beberapa
orang memilih menolak keberadaan Allah karena mereka tidak bisa memahami
mengapa Allah mengizinkan penderitaan seperti itu. Sebagian orang percaya bahwa
Allah ada, tetapi mereka tidak peduli dengan-Nya karena mereka tidak menganggap
bahwa Dia baik. Yang lainnya lagi memercayai Allah yang baik dan mengasihi
kita, tetapi Allah telah kehilangan kendali atas planet yang memberontak ini.
Namun demikian, ada juga orang-orang yang tetap berpegang teguh pada
kepercayaan bahwa Allah yang bijaksana, penuh kuasa, dan penuh kasih bisa
menggunakan si jahat untuk kebaikan. Jika kita mempelajari Alkitab secara
cermat, kita akan menemukan bahwa Allah dapat melakukan apa saja yang Dia
inginkan. Kadang-kadang Dia bertindak dengan penuh belas kasihan dan melakukan
berbagai mukjizat bagi umat-Nya. Namun, pada kesempatan lain, Dia memilih tidak
melakukan apa-apa untuk menghentikan tragedi. Dia seharusnya selalu akrab
terlibat dalam kehidupan kita, tetapi kadang-kadang Dia sepertinya menutup
telinga atas teriakan minta tolong kita. Di dalam Alkitab, Dia meyakinkan kita
bahwa Dia mengendalikan apa saja yang terjadi, tetapi kadang-kadang Dia
membiarkan kita menjadi sasaran orang-orang yang jahat, gen-gen pembawa sifat
buruk, virus yang berbahaya, atau bencana alam.
Jika Anda seperti saya, Anda
tentu ingin meletakkan kepingan-kepingan jawaban yang benar tentang penderitaan
ini agar memperoleh pemahaman yang utuh. Saya percaya bahwa Allah telah memberi
kita kepingan-kepingan jawaban yang cukup untuk menolong kita agar tetap memercayai-Nya,
bahkan jika kita tidak memiliki semua informasi yang kita inginkan. Di dalam
pembahasan yang singkat ini kita akan melihat bahwa jawaban dasar dari Alkitab
adalah bahwa Allah kita yang baik mengizinkan kesakitan dan penderitaan di
dalam hidup kita untuk memperingatkan kita atas masalah dosa, untuk memimpin
kita agar menanggapi-Nya dengan iman dan harapan, untuk membentuk kita agar
lebih menyerupai Kristus, dan untuk mempersatukan kita agar saling menolong.
UNTUK
MEMPERINGATKAN KITA
Bayangkanlah suatu dunia tanpa
penderitaan. Seperti apa bentuknya? Pertama, gagasan seperti itu sangat
menarik. Tidak ada lagi sakit kepala. Tidak ada lagi sakit punggung. Tidak ada
lagi sakit perut. Tidak ada lagi rasa sakit menusuk ketika palu yang Anda ayunkan
meleset dan mengenai jempol Anda. Tidak ada lagi sakit tenggorokan. Namun tidak
ada pula rasa sakit yang memperingatkan Anda jika ada tulang Anda yang patah
atau persendian yang lepas. Tidak ada lagi peringatan bahaya yang memberitahu
Anda bahwa sebuah borok telah melubangi perut Anda. Tidak ada rasa tidak enak
untuk memperingatkan Anda bahwa tumor ganas sedang menggerogoti tubuh Anda.
Tidak ada lagi kejang yang memberi tahu Anda bahwa pembuluh darah ke arah
jantung Anda tersumbat. Tidak ada rasa sakit yang memberi tahu Anda bahwa usus
buntu Anda pecah. Sebesar apa pun kebencian kita terhadap rasa sakit, kita
harus mengakui bahwa rasa sakit itu kerap kali mempunyai tujuan yang baik. Rasa
sakit itu mengingatkan kita akan sesuatu yang tidak beres. Penyebab rasa sakit
itu sendirilah yang merupakan masalah utama, bukan penderitaannya. Rasa sakit
hanyalah suatu gejala, suatu sirine, atau bel yang akan berbunyi ketika tubuh
kita mengalami bahaya atau mendapat serangan.
Pada
bagian ini kita akan melihat bagaimana rasa sakit dapat menjadi cara Allah
untuk memperingatkan kita bahwa:
1. Ada
sesuatu yang tidak beres dengan dunia ini.
2. Ada
sesuatu yang tidak beres dengan ciptaan Allah.
3. Ada
sesuatu yang tidak beres di dalam diri saya sendiri.
Salah
satu masalah ini dapat menjadi alasan timbulnya penderitaan dalam hidup kita.
Marilah kita lihat masing-masing diagnosis itu.
1. Ada sesuatu yang tidak
beres dengan dunia ini. Kondisi bumi yang
menyedihkan menunjukkan bahwa ada sesuatu yang tidak beres sedang berlangsung.
Penderitaan yang kita alami dan kesukaran yang dirasakan orang lain menunjukkan
bahwa penderitaan tidak membeda-bedakan ras, status sosial, agama, atau bahkan
moralitas. Penderitaan dapat terlihat kejam, ngawur, tanpa tujuan, aneh sekali,
dan buas tak terkendalikan. Hal-hal buruk menimpa orang-orang yang mencoba
hidup baik, dan hal-hal baik dialami orang-orang yang menikmati kejahatannya.
Kita mengalami hal-hal yang sepertinya tidak adil. Saya teringat ketika sedang
menjaga nenek saya yang sekarat karena kanker. Kakek dan Nenek Blohm pindah ke
rumah kami. Ibu saya, seorang perawat, merawatnya pada bulan-bulan terakhir
dalam hidupnya. Ia memberikan obat pemati rasa. Kakek amat menginginkan
kesembuhannya. Namun, akhirnya tiba saatnya ketika mobil jenazah membawa pergi
tubuh yang lunglai itu. Saya tahu ia telah berada di surga, tetapi hal itu
masih terasa menyakitkan. Saya membenci kanker sampai sekarang. Saat saya
merenungkan semua penderitaan yang dialami teman-teman saya, teman sekerja
saya, keluarga saya, tetangga saya, dan anggota jemaat, saya tidak bisa
membayangkan betapa panjangnya daftar orang yang menderita; dan daftar itu
masih belum lengkap. Kerap kali orang-orang ini menderita tanpa kesalahan yang
jelas. Kecelakaan, cacat lahir, kekacauan genetik, keguguran, orangtua yang
kejam, sakit kronis, anak pemberontak, sakit parah, penyakit yang tak jelas,
kematian pasangan atau anak, putusnya hubungan, bencana alam. Semua ini
sepertinya tidak adil. Dari waktu ke waktu saya tergoda untuk menyerah dalam
keputusasaan.
Bagaimana kita dapat
memecahkan masalah ini? Bagaimana kita dapat menjalani kehidupan yang pahit ini
tanpa menyangkal realitas atau terjerumus dalam keputusasaan? Tidak mampukah
Allah menciptakan dunia yang tanpa masalah? Tidak mampukah Dia menciptakan
dunia di mana orang tidak dapat membuat pilihan yang buruk atau melukai orang
lain? Tidak mampukah Dia membuat dunia tanpa nyamuk, rumput liar, dan kanker.
Dia mampu, tetapi Dia tidak mau berbuat demikian. Karunia besar kebebasan umat
manusia yang telah Allah berikan kepada kita adalah kemampuan untuk memilih,
yang di dalamnya terdapat risiko membuat pilihan yang salah. Jika Anda dapat
memilih antara menjadi makhluk yang berpikiran bebas di mana pilihan-pilihan
yang buruk menimbulkan penderitaan, atau menjadi sebuah robot yang tidak dapat
merasakan penderitaan. Mana yang Anda pilih? Makhluk macam apa yang memberikan
rasa hormat yang lebih kepada Allah? Makhluk macam apakah yang akan lebih
mengasihi-Nya?
Kita bisa saja diciptakan
seperti boneka lucu yang dijalankan dengan baterei, yang dapat berkata
"Saya mencintaimu" ketika dipeluk. Namun Allah mempunyai rencana
lain. Dia mengambil satu "risiko" untuk menciptakan makhluk-makhluk
yang dapat melakukan hal yang tak terpikirkan, makhluk yang dapat memberontak
terhadap Penciptanya. Apa yang terjadi di surga? Godaan, pilihan-pilihan yang
buruk, dan konsekuensi yang tragis menghancurkan kedamaian Adam dan Hawa. Kitab
Kejadian 2 dan 3 menunjukkan secara rinci bagaimana Setan mencobai kasih mereka
terhadap Tuhan, dan mereka gagal. Di dalam istilah Alkitab, kegagalan itu
disebut dosa. Seperti halnya virus AIDS yang menginfeksi tubuh, meruntuhkan
sistem kekebalan tubuh, dan kemudian membawa kita pada kematian, demikian juga
dosa menyebar seperti infeksi mematikan yang menurun dari satu generasi ke
generasi berikutnya. Setiap generasi baru mewarisi akibat dosa dan keinginan
untuk berbuat dosa (Roma 1:18-32; 5:12,15,18).
Masuknya dosa ke dalam dunia
tidak hanya membawa pengaruh yang merusak umat manusia, tetapi juga membawa
penghukuman langsung dan terus-menerus dari Allah. Kejadian 3 menghubungkan
betapa kematian fisik dan spiritual menjadi bagian dari keberadaan manusia
(ayat 3,19), proses melahirkan bayi menjadi menyakitkan (ayat 16), tanah
dikutuk sehingga dipenuhi semak belukar yang membuat kerja manusia menjadi amat
berat (ayat 17-19), dan Adam serta Hawa diusir dari Taman yang khusus itu,
tempat mereka menikmati hubungan yang intim dengan Allah (ayat 23,24). Dalam
Perjanjian Baru, Rasul Paulus menggambarkan seluruh ciptaan Allah mengeluh dan
amat merindukan saat mereka dibebaskan dari kutuk kebinasaan dan diciptakan
kembali sehingga bebas dari pengaruh dosa (Roma 8:19-22). Penyakit,
bencana, dan korupsi merupakan gejala dari masalah yang berat. Manusia telah
memberontak melawan Penciptanya. Setiap kesedihan, kesusahan, dan kegetiran
merupakan peringatan mara bahaya yang akan kita alami. Seperti halnya neon sign
yang besar, realitas penderitaan meneriakkan pesan bahwa dunia tidak seperti
yang Allah kehendaki. Oleh karena itu, jawaban yang pertama dan terutama atas
penderitaan adalah bahwa hal itu merupakan akibat langsung dari masuknya dosa
ke dalam dunia. Penderitaan memperingatkan kita bahwa penyakit spiritual sedang
menghancurkan bumi kita. Kerap kali masalah yang kita alami hanyalah efek
samping kehidupan dunia yang telah jatuh ke dalam dosa, bukan karena kesalahan
kita secara langsung.
2. Ada yang tidak beres
dengan ciptaan Allah. Kita bisa menjadi
sasaran tindakan kejam dari orang lain atau pasukan Setan. Baik manusia maupun
makhluk roh yang telah jatuh ke dalam dosa (para malaikat yang memberontak)
mampu membuat keputusan-keputusan yang merusak diri mereka sendiri maupun orang
lain.
Penderitaan dapat
disebabkan oleh manusia. Sebagai makhluk
yang bebas (dan terinfeksi dosa), manusia telah membuat dan akan terus membuat
pilihan-pilihan yang buruk dalam hidupnya. Pilihan-pilihan buruk ini kerap kali
memengaruhi orang lain. Misalnya, salah seorang anak Adam, Kain, memilih untuk
membunuh saudaranya Habel (Kejadian 4:7,8). Lamekh menyombongkan
kekerasan yang ia lakukan (ayat 23,24). Sarai menganiaya Hagar (Kejadian
16:1-6). Laban menipu keponakannya, Yakub (Kejadian 29:15-30). Yusuf
dijual saudaranya sebagai budak (Kejadian 37:12-36), dan kemudian istri
Potifar menuduhnya mencoba melakukan perkosaan dan membuatnya masuk penjara (Kejadian
39). Firaun dengan kejam menganiaya budak Yahudi di Mesir (Keluaran 1).
Raja Herodes membantai bayi-bayi yang hidup di sekitar Betlehem sewaktu berusaha
membunuh Yesus (Matius 2:16-18). Luka yang ditimpakan orang lain
terhadap kita mungkin disebabkan oleh keegoisan mereka. Atau mungkin juga Anda
menjadi sasaran aniaya karena Anda beriman kepada Kristus. Sepanjang sejarah,
orang yang mengikut Tuhan menderita di tangan orang-orang yang memberontak
terhadap Allah. Sebelum bertobat, Saulus adalah seorang anti-Kristen fanatik
yang melakukan apa saja untuk membuat hidup orang percaya menderita. Ia bahkan
berusaha membunuh mereka (Kis 7:54-8:3). Namun setelah pengenalannya
yang dramatis dengan Tuhan Yesus, ia berani menjalani semua penganiayaan ketika
dengan berani memberitakan Injil (2Kor 4:7-12; 6:1-10). Ia bahkan dapat
berkata bahwa penderitaan yang dialaminya membantu membuatnya lebih serupa
dengan Kristus (Filipi 3:10).
Penderitaan dapat
disebabkan oleh Setan dan roh jahat. Kisah
kehidupan Ayub merupakan contoh yang jelas bagaimana orang yang baik bisa
mengalami tragedi yang luar biasa karena serangan setan. Allah mengizinkan
Setan mengambil harta milik Ayub, keluarganya, dan kesehatannya (Ayub 1,2).
Saya ngeri, bahkan ketika saya menulis kalimat di atas. Bagaimanapun juga, dan
demi tujuan-Nya, Allah mengizinkan Setan menghancurkan kehidupan Ayub. Kita
mungkin cenderung membandingkan perlakuan Allah terhadap Ayub dengan seorang
ayah yang membiarkan tetangganya yang suka mengganggu memukul anak-anaknya
sendiri. Sang ayah hanya ingin tahu apakah mereka masih mengasihi ayahnya
setelah dipukuli tetangganya itu. Namun, saat Ayub sadar, itu bukan penilaian
yang adil jika berbicara tentang Allah yang bijaksana dan penuh kasih. Kita
tahu, meskipun Ayub tidak menilai Tuhan tidak adil, hidupnya merupakan sebuah
ujian kasus, suatu kesaksian yang hidup bagi Allah yang penuh ketulusan. Ayub
menggambarkan bahwa seseorang dapat memercayai Allah dan mempertahankan
integritas, bahkan jika hidupnya berantakan (apa pun sebabnya), karena Allah
layak untuk dipercaya. Akhirnya, Ayub belajar bahwa meskipun ia tidak mengerti
maksud Allah, ia memiliki banyak alasan untuk percaya bahwa Allah bukannya
tidak adil, kejam, sadis, atau tidak jujur dengan mengizinkan hidupnya
diporak-porandakan (Ayub 42).
Apakah
kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk? —
Ayub 2:10
Rasul Paulus mengalami masalah
fisik yang ia hubungkan dengan Setan. Ia menyebutnya "suatu duri di dalam
daging… yaitu seorang utusan Iblis untuk menggocoh aku" (2Kor 12:7).
Paulus berdoa agar terbebas dari masalah itu, tetapi Allah tidak memberi apa
yang ia minta. Sebaliknya, Tuhan membantunya melihat betapa kesukaran ini bisa
memiliki tujuan yang baik. Hal ini membuat Paulus bergantung kepada Tuhan dan
menempatkan diri pada suatu posisi untuk mengalami kemurahan-Nya (2Kor
12:8-10). Meskipun hampir semua kasus sakit-penyakit tidak dapat langsung
dipertautkan dengan pekerjaan Iblis, Injil mencatat beberapa contoh penderitaan
yang diakibatkan oleh Setan, termasuk seorang yang buta dan bisu (Matius
12:22), dan seorang anak laki-laki yang sakit ayan (Matius 17:14-18).
3. Ada yang tidak beres
dengan saya. Kerap kali ketika terjadi
sesuatu yang tidak beres di dalam hidup kita, kita segera mengambil kesimpulan
bahwa Allah sedang mencambuk kita karena dosa yang kita lakukan. Hal itu tidak
selalu benar. Seperti yang kita bahas dalam butir-butir sebelumnya, kita banyak
mengalami penderitaan karena hidup di dunia yang sudah rusak dan dihuni oleh
orang-orang yang rusak dan roh-roh yang memberontak. Teman-teman Ayub
berpikiran salah karena menganggap ia menderita karena dosa dalam hidupnya (Ayub
4:7,8; 8:1-6; 22:4,5; 36:17). Murid-murid Yesus sendiri mengambil
kesimpulan yang keliru tatkala mereka melihat seorang yang buta. Mereka
bertanya-tanya apakah kebutaan orang itu disebabkan oleh dosanya sendiri atau
dosa orangtuanya (Yohanes 9:1,2). Yesus memberi tahu mereka bahwa
kebutaan orang itu tidak disebabkan oleh dosa pribadinya atau dosa orangtuanya
(Yohanes 9:3). Dengan mengingat peringatan ini, kita dihadapkan
kebenaran yang sukar bahwa beberapa penderitaan benar-benar akibat langsung
dari dosa, baik sebagai pendisiplinan yang diterapkan Allah bagi mereka yang
Dia kasihi, atau hukuman yang Allah lakukan terhadap para pemberontak di
semesta-Nya. Koreksi. Jika Anda dan saya telah percaya kepada Yesus Kristus
sebagai Juru Selamat maka, kita akan menjadi anak-anak Allah. Dengan begitu,
kita adalah bagian sebuah keluarga yang dipimpin oleh Bapa yang penuh kasih
yang melatih dan mengoreksi kita. Dia bukanlah orangtua yang kejam dan sadis
yang melancarkan pukulan-pukulan keras karena Dia senang melakukannya.
Ibrani 12
menyatakan: Hai anakku, janganlah anggap enteng didikan Tuhan, dan janganlah
putus asa apabila engkau diperingatkan-Nya; karena Tuhan menghajar orang yang
dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak… Selanjutnya:
dari ayah kita yang sebenarnya kita beroleh ganjaran, dan mereka kita hormati;
kalau demikian bukankah kita harus lebih taat kepada Bapa segala roh, supaya
kita boleh hidup? Sebab mereka mendidik kita dalam waktu yang pendek sesuai
dengan apa yang mereka anggap baik, tetapi Dia menghajar kita untuk kebaikan
kita, supaya kita beroleh bagian dalam kekudusan-Nya (Ibrani 12:5,6,9,10).
Dan kepada jemaat di Laodikia,
Yesus berkata, "Barangsiapa Kukasihi, ia Kutegur dan Kuhajar; sebab itu
relakanlah hatimu dan bertobatlah!" (Wahyu 3:19). Raja Daud tahu
bagaimana rasanya mengalami kasih yang keras dari Allah. Setelah perzinahannya
dengan Batsyeba dan berkomplot untuk meyakinkan bahwa suaminya terbunuh dalam
peperangan, Daud tidak bertobat sampai nabi Natan menuduhnya. Mazmur 51
mengisahkan pergumulan Daud dengan rasa bersalahnya dan tangisannya minta
ampun. Dalam Mazmur yang lain, Daud mengisahkan tentang dampak dari orang yang
menutupi dan mengabaikan dosa. Dia menulis, "Selama aku berdiam diri,
tulang-tulangku menjadi lesu karena aku mengeluh sepanjang hari; sebab siang
malam tangan-Mu menekan aku dengan berat" (Mazmur 32:3,4).
Hai
anakku, janganlah anggap enteng didikan Tuhan, dan janganlah putus asa apabila
engkau diperingatkan-Nya karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya. — Ibrani
12:5,6
Dalam 1Kor 11:27-32,
Rasul Paulus mengingatkan umat percaya bahwa menyepelekan hal-hal dari Tuhan, seperti
ambil bagian dalam Perjamuan Kudus secara tidak serius, akan mendatangkan
hukuman. Paulus menjelaskan bahwa hukuman dari Allah ini memiliki tujuan. Ia
berkata, "Tetapi kalau kita menerima hukuman dari Tuhan, kita dididik,
supaya kita tidak akan dihukum bersama-sama dengan dunia" (ayat 32).
Kebanyakan dari kita dapat memahami prinsip bahwa Allah mendisiplinkan
orang-orang yang dikasihi-Nya. Kita mengharapkan Bapa yang penuh kasih akan
mengoreksi kita dan memanggil kita untuk memperbarui ketaatan kita kepada-Nya.
Penghakiman. Allah juga bertindak untuk mengatasi umat percaya yang
bandel yang bersikeras melakukan kejahatan. Seseorang yang tidak menerima
karunia keselamatan Allah akan menerima murka Allah pada hari penghakiman kelak
dan bahaya penghakiman yang keras pada saat ini jika Dia memang berkehendak
demikian. Tuhan mendatangkan air bah untuk menghancurkan umat manusia (Kejadian
6). Dia menghancurkan Sodom dan Gomora (Kejadian 18,19). Dia
mengirimkan wabah pada bangsa Mesir (Keluaran 7-12). Dia memerintahkan
bangsa Israel untuk menghancurkan seluruh orang-orang kafir yang tinggal di
Tanah Perjanjian (Ulangan 7:1-3). Dia menampar Raja Herodes yang sombong
sampai mati di zaman Perjanjian Baru (Kis 12:19-23). Dan pada masa
penghakiman mendatang, Allah akan menghakimi secara sempurna siapa saja yang
menolak kasih dan hukum-Nya (2Petrus 2:4-9).
Namun, sekarang ini kita masih
menghadapi ketidakadilan. Karena alasan-alasanNya yang bijaksana, Allah memilih
untuk menunda penghakiman sempurna-Nya. Penulis kitab Mazmur, Asaf, bergumul
dengan ketidakadilan hidup. Ia menulis tentang orang-orang fasik yang bebas
dengan perbuatan jahatnya, bahkan makin makmur saja, sedangkan orang-orang yang
benar mendapat masalah (#/TB Mazmur 73). Berkenaan dengan kemakmuran orang
fasik ia berkata, "Tetapi ketika aku bermaksud untuk mengetahuinya, hal
itu menjadi kesulitan di mataku, sampai aku masuk ke dalam tempat kudus Allah,
dan memerhatikan kesudahan mereka" (ayat 16,17). Dengan memikirkan
kemahakuasaan Tuhan semesta alam, Asaf mampu melihat hal-hal itu dalam sudut
pandang yang benar. Ketika kita bergumul dengan realitas bahwa orang-orang
fasik secara harafiah "bebas dari tuduhan membunuh" dan segala macam
imoralitas, kita perlu ingat bahwa "Tuhan… sabar terhadap kamu, karena Ia
menghendaki supaya jangan ada yang binasa, melainkan supaya orang berbalik dan
bertobat" (2Petrus 3:9). Lalu, bagian pertama dari jawaban masalah
penderitaan adalah bahwa Allah menggunakan penderitaan itu untuk memperingatkan
kita terhadap masalah-masalah yang serius. Penderitaan membunyikan alarm untuk
menunjukkan bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan dunia ini, dengan manusia
pada umumnya, dan dengan Anda dan saya. Namun seperti yang kita akan lihat
dalam bagian berikutnya, Allah tidak hanya memberi isyarat akan masalah-masalah
itu, Dia juga menggunakan kesukaran untuk mendorong kita menemukan
pemecahannya, di dalam Dia.
UNTUK
MEMIMPIN KITA
Ketika seseorang menolak
Allah, penderitaanlah yang kerap kali menjadi kambing hitam. Namun anehnya, penderitaan
juga mendapat penghargaan ketika orang menggambarkan bahwa penderitaan
mengarahkan kembali hidup mereka, menolong mereka untuk melihat hidup lebih
jelas lagi, dan menyebabkan hubungan mereka dengan Allah semakin dekat.
Bagaimana situasi yang sama memberikan pengaruh yang amat berbeda bagi orang
lain? Alasannya terletak jauh di dalam orang itu sendiri, bukan pada
peristiwanya. Seorang pemimpin terkenal dan terbuka terhadap media mencela
kekristenan sebagai "agama bagi para pecundang." Namun ia tidak
selalu merasa seperti itu. Ketika masih muda, ia menerima pelatihan Alkitab,
termasuk prasekolah di sekolah kristiani. Ketika bergurau tentang indoktrinasi
ketat yang ia peroleh, ia berkata, "Saya kira saya telah diselamatkan
tujuh atau delapan kali." Namun kemudian suatu pengalaman yang menyakitkan
mengubah pandangannya terhadap kehidupan dan Allah. Adik perempuannya sakit
keras. Ia berdoa bagi kesembuhannya, tetapi setelah menderita selama lima
tahun, adiknya meninggal dunia. Ia kecewa karena Allah memang mengizinkan hal
itu terjadi. Ia berkata, "Saya mulai kehilangan iman saya, dan dengan
semakin berkurangnya iman saya, saya merasa semakin baik."
Apa bedanya orang seperti itu
dengan Joni Eareckson Tada? Dalam buku Where Is God When It Hurts? (Di Mana
Allah Ketika Kita Menderita?) Philip Yancey menggambarkan perubahan sikap
secara bertahap yang terjadi pada Joni selama bertahun-tahun setelah ia lumpuh
dalam kecelakaan ketika ia berolahraga selam. "Pertama, Joni merasa tidak
mungkin untuk mempertahankan kepercayaannya kepada Allah yang penuh kasih…
Pertobatannya kembali kepada Allah terjadi secara bertahap. Luluhnya sikap Joni
dari kesinisan menjadi percaya terjadi setelah melewati masa-masa penuh air
mata dan pergumulan selama tiga tahun" (hlm. 133,134). Titik balik itu
terjadi pada suatu malam ketika seorang teman dekatnya, Cindy, memberitahunya,
"Joni, engkau bukanlah satu-satunya orang yang mengalami hal ini. Yesus
tahu apa yang engkau rasakan karena Dia juga lumpuh." Cindy menggambarkan
bagaimana Yesus disalibkan di kayu salib, dilumpuhkan oleh paku. Yancey
kemudian berkata, "Pikiran itu membangkitkan minat Joni dan, sesaat
kemudian, mengalihkan pikirannya terhadap penderitaannya sendiri. Sebelumnya,
ia tidak pernah berpikir bahwa Allah merasakan rasa sakit yang menyengat
seperti yang sekarang menyiksa tubuhnya. Kesadaran itu amat melegakannya
(hlm.134). Joni tidak meneruskan mencari jawaban mengapa kecelakaan yang
menghancurkan hidupnya itu terjadi. Sebaliknya, ia makin bergantung sepenuhnya
kepada Tuhan dan melihat kehidupan dari sudut pandang yang lebih luas.
Selanjutnya Yancey berkata tentang Joni, "Ia bergumul dengan Allah, ya,
tetapi ia tidak menjauh dari-Nya… Joni sekarang menyebut kecelakaannya sebagai
suatu ‘pengacau yang agung’, dan mengklaim bahwa semua yang terjadi itu adalah
hal yang terbaik. Allah menggunakan kecelakaan itu untuk mendapatkan
perhatiannya dan memimpin pikirannya kepada-Nya" (hlm. 137,138).
Prinsip
bahwa penderitaan dapat menghasilkan ketergantungan yang sehat pada Allah diajarkan
oleh Rasul Paulus dalam Salah satu suratnya kepada jemaat di Korintus. Ia
menulis demikian:
Sebab
kami mau, saudara-saudara, supaya kamu tahu akan penderitaan yang kami alami di
Asia Kecil. Beban yang ditanggungkan atas kami adalah begitu besar dan begitu
berat, sehingga kami telah putus asa juga akan hidup kami. Bahkan kami merasa,
seolah-olah kami telah dijatuhi hukuman mati. Tetapi hal itu terjadi, supaya
kami jangan menaruh kepercayaan pada diri kami sendiri, tetapi hanya kepada
Allah yang membangkitkan orang-orang mati (#/TB 2Kor 1:8,9).
Ide yang sama dapat ditemukan
dalam komentar Paulus tentang masalah tubuhnya sendiri. Tuhan memberi tahu
Paulus, "Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah
kuasa-Ku menjadi sempurna" (2Kor 12:9). Kemudian Paulus
menambahkan, "Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam
siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena
Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat" (ayat 10). Penderitaan memberi
jalan untuk menunjukkan betapa sebenarnya kita ini lemah. Penderitaan memaksa
kita untuk memikirkan kembali prioritas, nilai, tujuan, mimpi, kesenangan,
sumber kekuatan, dan hubungan kita dengan sesama dan Allah. Penderitaan mampu
mengarahkan perhatian kita kepada kenyataan-kenyataan rohani, jika tidak justru
membuat kita meninggalkan Allah. Penderitaan memaksa kita untuk mengevaluasi
kembali arah hidup kita. Kita dapat memilih untuk berputus asa dengan
memusatkan perhatian pada masalah-masalah yang kita hadapi sekarang. Namun kita
juga dapat memilih untuk tetap berharap dengan mengenal rencana jangka panjang
Allah bagi kita (Roma 5:5; 8:18,28; Ibrani 11). Dari semua pasal dalam
Alkitab, Ibrani 11 paling meyakinkan saya kembali bahwa entah hidup ini menyenangkan
atau aneh sekali, saya harus tetap beriman dalam kebijaksanaan, kuasa, dan
kendali Allah. Apa pun yang terjadi, saya memiliki alasan untuk memercayai-Nya
seperti halnya para tokoh Alkitab dulu berharap kepada-Nya. Misalnya, Ibrani 11
mengingatkan kita tentang Nuh, seorang yang menghabiskan waktu 120 tahun
lamanya untuk menunggu Allah menggenapi janji-Nya mendatangkan air bah (Kejadian
6:3). Abraham telah menunggu bertahun-tahun dalam penderitaan sebelum anak
yang Allah janjikan lahir. Yusuf dijual menjadi budak dan dipenjara tanpa
bersalah, tetapi ia akhirnya melihat bagaimana Allah menggunakan semua hal yang
tampaknya jahat di dalam hidupnya itu untuk tujuan yang baik (Kejadian 50:20).
Musa menunggu sampai 80 tahun sebelum Allah memakainya untuk membantu
membebaskan umat Yahudi dari Mesir. Dan bahkan kemudian, memimpin orang-orang
yang kurang beriman merupakan pergumulan tersendiri baginya (lihat Keluaran).
Ibrani 11 mendaftar orang-orang seperti Gideon, Simson, Daud, dan Samuel, yang
melihat kemenangan-kemenangan akbar ketika mereka hidup bagi Tuhan. Namun di
tengah ayat 35 suasananya berubah. Tiba-tiba kita dihadapkan dengan orang-orang
yang harus menahan penderitaan yang luar biasa yakni orang-orang yang mati
tanpa mengerti mengapa Allah mengizinkan mereka mengalami tragedi semacam itu.
Pribadi-pribadi itu disiksa, diejek, dicambuk, dilempari batu, dipotong jadi
dua, ditusuk, dianiaya, dan dipaksa hidup sebagai orang-orang buangan (ayat
35-38). Allah berencana bahwa dengan mata rohani yang tertuju pada kekekalan
maka kesetiaan mereka dalam masa kesukaran akan mendapat pahala (ayat 39,40).
Iman
adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala
sesuatu yang tidak kita lihat. — Ibrani 11:1
Penderitaan memaksa kita untuk
melihat jauh ke depan melampui keadaan kita sekarang. Penderitaan mendorong
kita untuk menanyakan pertanyaan yang besar "Mengapa saya berada di
sini" dan "Apa tujuan hidup saya?" Dengan mencari jawaban atas
kedua pertanyaan itu dan menemukan jawabannya di dalam Allah yang terdapat
dalam Alkitab, kita akan menemukan stabilitas yang kita butuhkan untuk menahan
penderitaan yang paling berat yang menimpa hidup kita karena kita tahu bahwa
kita tidak selamanya menderita. Jika kita tahu bahwa Allah yang berdaulat tetap
menyertai sepanjang sejarah umat manusia dan merajut semuanya itu menjadi
permadani indah yang akhirnya akan memuliakan-Nya, kita akan melihat segala
sesuatu dalam sudut pandang yang lebih baik. Dalam Roma 8:18 Rasul
Paulus menulis, "Sebab aku yakin, bahwa penderitaan zaman sekarang ini
tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada
kita." Paulus tidak meringankan kesukaran-kesukaran kita, tetapi ia
memberi tahu orang percaya untuk melihat kesukaran-kesukaran saat ini dengan
kacamata kekekalan. Masalah-masalah kita mungkin berat, bahkan menghancurkan.
Namun Paulus berkata bahwa jika dibandingkan dengan kemuliaan yang akan
diterima oleh orang yang mengasihi Allah, meskipun dalam keadaan hidup yang
paling gelap dan berat, semuanya itu akan memudar. Kita perlu melihat satu
contoh lagi, yang mungkin menjadi ilustrasi paling penting yang perlu kita
renungkan. Ingatlah ketika Kristus tergantung di kayu salib, yang saat ini
dikenal sebagai Jumat Agung. Pada saat itu, hari berlangsung seperti biasa.
Namun hari itu adalah hari yang penuh penderitaan, kesedihan yang mendalam,
gelap, dan muram. Itulah hari ketika Yesus merasa kesepian. Itulah hari ketika
Allah sepertinya tidak ada dan membisu, saat Iblis kelihatannya menang, dan
harapan dihancurkan. Namun kemudian tibalah hari Minggu. Yesus bangkit dari
kubur. Peristiwa yang mengagumkan itu membuat hari Jumat menjadi berarti.
Kebangkitan memberi makna baru pada apa yang terjadi pada kayu salib. Bukan
sebagai saat kekalahan, tetapi menjadi hari kemenangan. Kita juga dapat melihat
ke depan. Kita dapat bertahan pada "Jumat" kita yang kelabu dan bisa
melihatnya sebagai hari yang "baik" karena kita melayani Allah yang
menang di hari Minggu. Jadi ketika kesukaran menimpa, dan pasti menimpa kita,
ingatlah hal ini: Allah menggunakan situasi-situasi semacam itu untuk menuntun
kita kepada-Nya dan kepada pandangan hidup yang jauh ke depan. Dia memanggil
kita untuk percaya, berharap, dan menunggu.
UNTUK
MEMBENTUK KITA
Pelatih atletik suka memakai
ungkapan "No pain, no gain" (Tiada hasil tanpa usaha). Sebagai
seorang bintang lintasan (Oke, mungkin saya tidak sehebat itu, tetapi saya
berusaha keras!), saya mendengar pelatih selalu mengingatkan kami bahwa jadwal
latihan yang keras akan terbayar lunas ketika kita mulai bertanding. Pelatih
itu benar. Oh, kita memang tidak selalu menang, tetapi kerja keras kita
benar-benar menghasilkan keuntungan yang nyata. Saya belajar banyak tentang
diri saya sendiri selama tahun-tahun itu. Dan sekarang saya bahkan belajar
lebih keras dalam berdisiplin diri untuk joging setiap hari. Saya bisa saja
melupakannya di kemudian hari. Namun saya tidak ingin sakit karena melonggarkan
jadwal olahraga. Saya tidak ingin memaksa "sistem radiator" saya bekerja
terlalu keras. Saya tidak ingin harus merasa lelah saat saya mendaki bukit.
Lalu, mengapa saya melakukannya? Hasil yang saya peroleh benar-benar sesuai
dengan perjuangan saya. Tekanan darah dan denyut nadi saya tetap normal, perut
saya tidak membuncit, dan saya merasa lebih sehat. Olahraga menunjukkan
berbagai manfaat nyata, tetapi bagaimana dengan usaha yang tidak ingin kita
pilih? Bagaimana dengan penyakit, kecelakaan, dan kesedihan? Apa yang kita
peroleh dari penderitaan semacam itu? Benarkah hasilnya benar-benar sepadan
dengan penderitaannya? Marilah kita lihat apa yang dirasakan oleh orang yang
menderita dalam Roma 5:3-4. Rasul Paulus menulis, "… kita malah
bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu
menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji, dan tahan uji
menimbulkan pengharapan."
Paulus menyatakan tentang
keuntungan penderitaan dengan mengatakan "kita malah bermegah dalam
kesengsaraan kita." Mengapa ia dapat berkata bahwa kita harus bersukacita
atau berbahagia jika kita harus menahan tragedi yang menyakitkan? Ia jelas tidak
mengatakan agar kita bersukacita secara harafiah terhadap datangnya
penderitaan, tetapi bersukacita atas apa yang Allah dapat dan akan lakukan bagi
kita dan bagi kemuliaan-Nya lewat pencobaan-pencobaan yang kita alami.
Pernyataan Paulus mendorong kita untuk merayakan hasil akhir, bukan proses yang
menyakitkan itu sendiri. Ia tidak bermaksud agar kita bersukacita secara tidak
wajar atas kematian, cacat tubuh, kerugian uang, putusnya hubungan, atau
kecelakaan yang tragis. Semua hal yang mengerikan itu mengingatkan bahwa kita
hidup di dunia yang telah rusak oleh kutuk akibat dosa. Rasul Yakobus juga
menulis bagaimana kita harus bersukacita pada hasil akhir masalah-masalah kita.
Ia berkata, "Saudara-saudaraku, anggaplah sebagai suatu kebahagiaan,
apabila kamu jatuh ke dalam berbagai-bagai pencobaan, sebab kamu tahu, bahwa
ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan. Dan biarkanlah ketekunan itu
memperoleh buah yang matang, supaya kamu menjadi sempurna dan utuh dan tak
kekurangan suatu apa pun" (1:2-4). Jika kita menggabungkan kebenaran dari
dua ayat tersebut, kita dapat melihat bagaimana hasil penderitaan yang baik dan
patut dipuji itu adalah ketekunan, kematangan karakter, dan harapan. Allah
dapat menggunakan kesukaran-kesukaran hidup untuk membentuk kita agar mempunyai
iman yang lebih matang, lebih saleh, dan lebih menyerupai Kristus. Jika kita
memercayai Kristus sebagai Juru Selamat kita, Tuhan tidak begitu saja menyulap
kita menjadi manusia yang sempurna. Apa yang Dia lakukan adalah menghilangkan
hukuman dosa dan membawa kita pada jalan menuju surga. Kehidupan lalu menjadi
masa untuk mengembangkan karakter karena kita belajar lebih jauh tentang Allah
dan bagaimana kita harus menyukakan hati Nya. Penderitaan secara dramatis
memaksa kita untuk menghadapi masalah-masalah hidup yang lebih dalam. Dengan
melakukan itu, kita bertumbuh makin kuat dan matang.
Dan
biarkanlah ketekunan itu memperoleh buah yang matang, supaya kamu menjadi
sempurna dan utuh dan tak kekurangan suatu apa pun. — Yakobus 1:4
Kakek
saya, Dr. M.R. De Haan, berbicara tentang proses pembentukan hidup lewat
bukunya Broken Things (Yang Terkoyak). Ia menulis:
Khotbah
terbesar yang pernah saya dengar tidak dikhotbahkan dari atas mimbar, tetapi
dari sisi pembaringan. Kebenaran terbesar dan terdalam dari firman Tuhan kerap
kali diungkapkan bukan oleh mereka yang berkhotbah dari lulusan sekolah
teologi, tetapi oleh jiwa-jiwa sederhana yang belajar dari sekolah penderitaan
dan dari pengalaman atas hal-hal penting bagaimana Allah bekerja. Orang paling ceria
yang pernah saya temui, dengan sedikit kekecualian, adalah mereka yang mendapat
sinar matahari paling sedikit dan mengalami penderitaan yang paling berat dalam
hidup mereka. Orang yang paling bersyukur yang pernah saya temui bukanlah
mereka yang berjalan di atas permadani bunga mawar sepanjang hidupnya, tetapi
mereka yang terkurung di rumah, kerap kali di atas ranjang mereka, dan telah
belajar untuk bergantung kepada Allah sebagai satu-satunya yang bisa dilakukan
oleh orang-orang kristiani ini. Saya memerhatikan, orang-orang yang suka
mengeluh biasanya justru mereka yang menikmati hidup sehat. Para pengeluh
adalah orang yang sebenarnya tidak memiliki hal untuk dikeluhkan. Sebaliknya
orang-orang kudus yang telah menyegarkan jiwa saya berkali-kali saat mereka
berkhotbah di sisi pembaringan adalah orang-orang yang paling bersukacita dan
paling bersyukur atas berkat Allah Yang Mahakuasa (hlm. 43,44).
Bagaimana Anda bereaksi
terhadap kesukaran-kesukaran hidup? Apakah Anda menjadi semakin sinis atau
makin baik? Apakah Anda bertumbuh di dalam iman Anda atau justru menjauh dari
Allah? Apakah karakter Anda menjadi lebih seperti Kristus? Apakah Anda
membiarkan penderitaan membentuk Anda dan menyesuaikan diri Anda dengan
gambaran Anak Allah?
Bagaimana segala sesuatu
turut bekerja untuk mendatangkan kebaikan?
Mungkin firman Tuhan yang paling sering dikutip pada waktu penderitaan adalah Roma
8:28. Ayat itu berbunyi, "Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut
bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang
terpanggil sesuai dengan rencana Allah." Ayat ini kerap kali disalahpahami
dan mungkin disalahgunakan, tetapi kebenarannya dapat membawa penghiburan yang
besar. Roma 8 menekankan apa yang Allah perbuat bagi kita. Roh Kudus
yang tinggal di dalam diri kita memberi kita kehidupan rohani (ayat 9),
meyakinkan kita bahwa kita adalah anak-anak Allah (ayat 16), dan menolong kita
dengan doa-doa kita pada saat kita lemah (ayat 26,27). Roma 8 juga
meletakkan penderitaan kita ke dalam gambaran yang lebih besar mengenai apa
yang Allah kerjakan yakni bahwa Allah melaksanakan rencana penebusan-Nya (ayat
18-26). Ayat 28 sampai 39 meyakinkan kita akan kasih Allah bagi kita, sehingga
tidak ada seorang pun atau apa pun yang bisa menghalangi Allah menyelesaikan apa
yang ingin Dia kerjakan, dan tidak ada yang bisa memisahkan kita dari
kasih-Nya. Jadi, jika kita memerhatikan konteks Roma 8 ini dengan
sungguh-sungguh, ayat 28 benar-benar meyakinkan kita bahwa Allah bekerja bagi
mereka yang memercayai Anak-Nya sebagai Penebus. Ayat itu tidak menjanjikan
bahwa kita akan memahami semua peristiwa hidup atau bahwa setelah melewati masa
ujian, kita akan diberkati dengan hal-hal yang baik dalam hidup ini. Namun ayat
itu meyakinkan kita bahwa Allah melakukan pekerjaan baik melalui hidup kita.
Dia membentuk hidup dan keadaan kita untuk membawa kemuliaan bagi-Nya. Ron Lee
Davis, dalam bukunya Becoming a Whole Person in a Broken World (Menjadi
Pribadi yang Utuh Dalam Dunia yang Hancur) menulis, "Berita baik itu
bukanlah bahwa Allah akan membuat keadaan seperti yang kita inginkan, tetapi
bahwa Allah dapat menenun kekecewaan dan bencana menjadi rencana kekekalan-Nya.
Kejahatan yang menimpa kita dapat diubah menjadi kebaikan dari Allah. Roma
8:28 adalah jaminan yang Allah berikan bahwa jika kita mengasihi Allah,
hidup kita dapat dipakai untuk mencapai tujuan-Nya dan memperluas
kerajaan-Nya"(hlm.122).
"Namun," Anda
mungkin bertanya, "bagaimana Allah dapat menjadi pengendali jika hidup
kelihatannya tak terkendalikan? Bagaimana Dia dapat membuat semuanya bekerja
demi kemuliaan-Nya dan juga kebaikan kita pada akhirnya?" Dalam bukunya
Why Us? Warren Weirsbe menyatakan bahwa Allah "membuktikan kedaulatan-Nya,
bukan dengan selalu campur tangan dan menghalangi peristiwa-peristiwa itu,
tetapi dengan mengatur dan mengatur kembali peristiwa-peristiwa itu sehingga
tragedi pun bisa digunakan untuk mencapai tujuan akhir-Nya (hlm. 136). Sebagai
Tuhan alam semesta yang berdaulat, Allah memakai semua kehidupan untuk
mengembangkan kedewasaan kita dan menjadikan kita seperti Kristus, serta
melanjutkan rencana kekekalan-Nya. Meskipun demikian, untuk mencapai semua
tujuan itu, Allah ingin agar kita menolong orang lain. Itulah yang akan dibahas
pada bagian berikutnya.
UNTUK
MEMPERSATUKAN KITA
Rasa sakit dan penderitaan
sepertinya memiliki kemampuan khusus untuk menunjukkan kepada kita betapa kita
saling membutuhkan. Pergumulan mengingatkan kita betapa rapuhnya kita. Bahkan
kelemahan orang lain dapat mendukung kita ketika kekuatan kita sendiri melemah.
Kebenaran ini menjadi semakin nyata bagi saya setiap saya bertemu dengan
sekelompok kecil teman-teman persekutuan doa gereja. Selama kebersamaan yang
teratur itu, kami saling membagi beban atas anak yang sakit, kehilangan
pekerjaan, ketegangan di tempat kerja, anak yang memberontak, keguguran,
permusuhan dalam keluarga, depresi, stres setiap hari, anggota keluarga yang
belum diselamatkan, keputusan-keputusan yang sulit, tindak kriminal di sekitar
kita, peperangan melawan dosa, dan masih banyak lagi. Kerap kali pada akhir
pertemuan itu saya memuji Tuhan atas dorongan yang kami beritakan satu sama
lain. Kami makin akrab dan makin dikuatkan ketika kami menghadapi
pergumulan-pergumulan hidup bersama-sama.
Pengalaman-pengalaman
pribadi semacam ini dalam terang firman Tuhan mengingatkan saya pada dua kunci
kebenaran:
1.
Penderitaan menolong kita melihat kebutuhan kita terhadap umat
percaya
lainnya.
2.
Penderitaan menolong kita untuk memenuhi kebutuhan orang lain
seperti
halnya kita mengizinkan Kristus hidup melalui kita.
Mari kita
bahas satu per satu cara Allah memakai rasa sakit dan penderitaan untuk tujuan
mempersatukan kita dengan umat percaya dalam Kristus lainnya.
1. Penderitaan membuat kita
tahu bahwa kita membutuhkan umat percaya lainnya. Dalam menggambarkan kesatuan umat percaya di dalam
Kristus, Rasul Paulus menggunakan analogi tubuh manusia (1Kor 12). Ia
mengatakan bahwa kita saling membutuhkan agar berfungsi dengan baik. Paulus
menggambarkan situasi itu sebagai berikut: "Karena itu jika satu anggota
menderita, semua anggota turut menderita; jika satu anggota dihormati, semua
anggota turut bersukacita. Kamu semua adalah tubuh Kristus dan kamu
masing-masing adalah anggotanya" (ayat 26,27). Dalam suratnya kepada
jemaat di Efesus, Paulus berbicara tentang Kristus, "DaripadaNyalah
seluruh tubuh, yang rapi tersusun dan diikat menjadi satu oleh pelayanan semua
bagiannya, sesuai dengan kadar pekerjaan tiap-tiap anggota, menerima
pertumbuhannya membangun dirinya dalam kasih" (Efesus 4:16). Ketika
kita mulai mengenali segala hal yang dapat dilakukan umat percaya lain kepada
kita, kita akan menyadari betapa banyak yang bisa diperoleh dengan menjangkau
mereka ketika kita mengalami masa-masa pergumulan. Jika suatu masalah
kelihatannya mematahkan kekuatan kita, kita dapat bersandar pada umat percaya
lain untuk menolong kita menemukan kekuatan baru di dalam kuasa Tuhan.
2. Penderitaan menolong
kita untuk memenuhi kebutuhan orang lain seperti halnya kita mengizinkan
Kristus hidup melalui kita. Dalam 2Kor
1, Paulus menulis, "Terpujilah Allah, Bapa Tuhan kita Yesus Kristus,
Bapa yang penuh belas kasihan dan Allah sumber segala penghiburan, yang
menghibur kami dalam segala penderitaan kami, sehingga kami sanggup menghibur
mereka, yang berada dalam bermacam-macam penderitaan dengan penghiburan yang
kami terima sendiri dari Allah" (ayat 3,4). Seperti yang telah kita lihat
dalam bagian yang lalu, kita membutuhkan satu sama lain karena kita memiliki
sesuatu yang berharga untuk saling dibagikan. Kita memiliki kebijaksanaan dan
pandangan spiritual yang kita pelajari saat kita mengalami berbagai macam
pencobaan. Kita tahu nilai kehadiran pribadi dari seseorang yang penuh kasih.
Jika kita mengalami penghiburan Allah selama situasi gawat, kita akan mampu
untuk menghibur orang yang mengalami situasi-situasi yang hampir sama dengan
yang kita alami. Saat menyiapkan buku ini, saya membaca pengalaman orang-orang
yang amat menderita, dan saya bicara dengan orang-orang yang mengalami rasa
sakit yang hampir sama. Saya mencoba mencari orang yang paling bisa menolong
mereka pada saat kesukaran. Jawabannya sekali lagi: orang lain yang pernah
mengalami permasalahan yang hampir sama. Orang itu dapat berempati secara
penuh, dan komentar-komentarnya memancarkan pengertian yang keluar dari
pengalaman. Bagi seseorang yang berbeban berat, bila ada orang lain berkata,
"Saya mengerti apa yang Anda alami," tetapi ia tidak sungguh-sungguh
mengalaminya, ucapan itu terdengar kosong dan tidak ada artinya. Meskipun
penghibur terbaik adalah mereka yang pernah mengalami situasi yang mirip dan
mengalami pertumbuhan rohani yang makin kuat karenanya, itu tidak berarti bahwa
orang yang belum pernah mengalami penderitaan semacam itu tidak bisa apa-apa.
Kita semua memiliki tanggung jawab untuk melakukan apa yang dapat kita kerjakan
untuk berempati, mencoba untuk mengerti, mencoba untuk menghibur. Galatia
6:2 mengatakan, "Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikianlah
kamu memenuhi hukum Kristus." Dan Roma 12:15 menyatakan,
"Bersukacitalah dengan orang yang bersukacita, menangislah dengan orang
yang menangis!" Dr. Paul Brand, seorang pakar penyakit lepra, menulis,
"Jika rasa sakit menyerang, orang yang ada di dekat penderita akan
terpukul oleh rasa terkejut. Kita mencoba mengatasi rasa tertekan itu. Kita
akan ke rumah sakit dengan langkah pasti untuk menjenguk orang itu; mengucapkan
beberapa kata penghiburan, dan mungkin membawakan artikel yang dapat
melegakannya.
Singkatnya,
tidak ada obat mujarab bagi orang yang menderita. Orang seperti ini hanya
membutuhkan kasih, karena kasih secara naluri mendeteksi apa yang dibutuhkan. —
Philip Yancey
"Tetapi ketika saya
bertanya kepada para pasien dan keluarganya, ‘Siapa yang menolong Anda selama
Anda menderita?’ Saya mendengar jawaban yang tidak terduga. Orang yang mereka
gambarkan kerap kali bukan orang yang dapat memberi jawaban dengan baik dan
berkepribadian menarik atau periang. Penolong mereka justru orang yang tenang,
penuh pengertian, dan lebih senang mendengarkan daripada berbicara.
‘Kehadiran.’ ‘Seseorang yang selalu ada ketika saya membutuhkan.’ Tangan untuk
digenggam, pengertian, pelukan di masa-masa sulit. Orang yang mau diajak
berbagi" (Fearfully and Wonderfully Made, hlm. 203,204). Jelas sudah bahwa
Allah menciptakan kita untuk saling tergantung. Kita memiliki banyak hal yang
bisa ditawarkan kepada mereka yang menderita. Sebaliknya orang lain pun
memiliki banyak hal yang dapat dibagikan ketika kita menghadapi masalah. Ketika
kita mengembangkan kebersamaan itu, kita mengalami penghiburan yang luar biasa
jika kita tahu bahwa Allah memakai penderitaan untuk memperingatkan kita akan
dosa. Dia memakai kesukaran untuk menuntun kita kepada-Nya, dan Dia bahkan akan
menggunakan masalah untuk membuat kita makin menyerupai Kristus.
Bagaimana
Anda Dapat Menolong Orang Lain?
Saat ini Anda mungkin sedang
dilingkupi penderitaan, sehingga sepertinya tidak mungkin untuk menolong orang
lain. Meskipun demikian, pada titik tertentu saat Anda menjalani penderitaan
itu yakni saat Anda menerima penghiburan Allah, Anda akan siap memberi
penghiburan kepada orang lain (2Kor 1). Kenyataannya, menolong orang
lain mungkin menjadi bagian yang penting dari proses penyembuhan emosi Anda
sendiri. Atau mungkin Anda membaca buku ini dengan harapan akan lebih mampu
menolong teman yang terluka atau orang yang Anda kasihi. Saran-saran di bagian
ini dirancang untuk Anda juga. Menolong orang lain itu berisiko. Pertolongan
kita mungkin tidak selalu diterima. Kita mungkin kadang-kadang mengatakan
hal-hal yang salah. Namun mencoba untuk menolong adalah suatu keharusan bagi
kita. Perumpamaan Yesus tentang orang Samaria yang baik hati (Lukas 10:25-37)
mengingatkan kita bahwa kita memiliki tanggung jawab untuk menolong orang-orang
terluka yang kita temui. Inilah beberapa saran yang mungkin bisa menolong Anda:
Jangan
menunggu orang lain untuk bertindak lebih dulu.
Hadirlah
secara fisik bersama mereka jika memungkinkan, dan berikan
sentuhan
atau pelukan yang sewajarnya.
Pusatkan
pada kebutuhan mereka dan bukan pada ketidakenakan Anda
sendiri
karena tidak bisa memberikan jawaban yang memadai.
Izinkan
mereka untuk mengungkapkan perasaan. Jangan mencela emosi
mereka.
Pelajarilah
masalah mereka.
Jangan
berpura-pura bahwa Anda tidak pernah mengalami pergumulan
dalam
hidup.
Jangan
bicara secara bertele-tele.
Hindari
perkataan, "Anda tidak seharusnya mempunyai perasaan
demikian,"
atau "Anda tahu apa yang seharusnya Anda lakukan."
Yakinkan
mereka bahwa Anda pun mendoakan mereka.
Berdoalah!
Minta agar Allah menolong Anda dan mereka.
Teruslah
menjalin hubungan dengan mereka.
Tolonglah
mereka untuk menghilangkan rasa bersalah dengan meyakinkan
bahwa
penderitaan dan dosa bukanlah dua hal yang tidak dapat
dipisahkan.
Tolong
mereka menemukan pengampunan di dalam Kristus jika mereka
menderita
karena dosa, atau jika mereka sadar akan dosa mereka saat
mereka
merenungkan hidup mereka.
Beri
dorongan kepada mereka untuk mengingat kembali kesetiaan Allah
pada masa
lalu.
Pusatkan
pada teladan dan pertolongan Kristus.
Ingatkan
mereka bahwa Allah mengasihi dan memerhatikan kita, serta
tetap
memegang kendali.
Dorong
mereka untuk meluangkan waktu istirahat satu hari.
Dorong
mereka untuk menemui orang lain yang mereka butuhkan (teman,
keluarga,
pendeta).
Tolong
mereka untuk menyadari bahwa menghadapi kesukaran itu
memerlukan
waktu.
Bersukacitalah
dengan orang yang bersukacita, dan menangislah dengan orang yang menangis. Roma
12:15
Ingatkan
mereka akan kasih pemeliharaan Allah (Mazmur 23).
Ingatkan
mereka bahwa Allah mengendalikan alam semesta, baik
peristiwa
besar maupun kecil dalam kehidupan.
Jangan
mengabaikan masalah mereka.
Jangan
mencoba berpura-pura "menyukakan hati mereka". Lakukanlah
dengan
sungguh-sungguh. Jadilah teman mereka seperti ketika
kesukaran
itu belum menimpanya.
Tunjukkan
kepada mereka kasih yang Anda harapkan dari orang lain
jika Anda
berada dalam situasi seperti mereka.
Jadilah
pendengar yang baik.
Nyatakan
betapa berat penderitaan mereka.
Beri
mereka waktu untuk sembuh. Jangan mempercepat prosesnya.
Yang
Lebih Baik Daripada Jawaban
Kita berkeras meminta jawaban
yang lengkap. Sebaliknya, Allah menawarkan Diri-Nya sendiri. Dan itu sudah
cukup. Jika kita tahu bahwa kita dapat memercayai-Nya, kita tidak membutuhkan
penjelasan yang lengkap. Cukup sudah jika kita mengetahui bahwa rasa sakit dan
penderitaan kita bukannya tanpa arti. Cukup sudah jika kita mengetahui bahwa
Allah masih menguasai alam semesta dan bahwa Dia sungguh-sungguh memelihara
kita masing-masing. Bukti terbesar dari perhatian Allah bagi kita dapat
ditemukan jika kita melihat Yesus Kristus. Allah sangat mengasihi kita yang
tengah menderita ini sehingga Dia mengirimkan Anak-Nya untuk menderita dan mati
bagi kita, agar kita bebas dari hukuman kekal (Yohanes 3:16-18). Karena
Yesus, kita dapat menghindari penderitaan terbesar, yaitu penderitaan karena
terpisah dari Allah selamanya. Dan karena Kristus, kita dapat menanggung
tragedi yang paling buruk pada saat ini karena Dia telah memberi kita kekuatan
dan meletakkan harapan di hadapan kita.
Kita
berkeras meminta jawaban yang lengkap. Sebaliknya, Allah menawarkan Diri-Nya
sendiri.
Langkah pertama dalam
menghadapi penderitaan dengan realistis adalah dengan mengenali akarnya di
dalam masalah dosa yang universal. Tahukah Anda betapa berat penderitaan yang
harus Yesus tanggung di kayu salib untuk membebaskan Anda dari hukuman dosa?
Letakkan kepercayaan Anda padaNya. Terimalah kado pengampunan-Nya yang
cuma-cuma. Hanya di dalam Dia Anda akan menemukan jawaban atas penderitaan
dalam hidup Anda dan dalam dunia ini.
By : Arsy Imanuel, Sumber dari : Originally published in English under
the title Why Would a Good God Allow Suffering? from: Kurt De Haan
saya memilih jadi robot yg tidak merasakan penderitaan. Coba bayangkan tiba2 anda salah pilih suatu pekerjaan. Mula2 anda senang diterima bekerja tapi ternyata perusahaan anda banyak masalah. Anda pun terseret dalam masalah perusahaan.Membuat hdup anda hancur! Hidup ini seperti labirin yang membingungkan dan ketika kita mentok/jalan buntu blm tentu kita bisa putar balik lagi? Saya merasa seperti ketika jatuh bukan uluran tangan yang Dia berikan tapi tangga yg menimpa saya. Gimana rasanya? Ketika saya membutuhkan pekerjaan Dia malah memberikan pekerjaan yg tidak sesuai buat saya. Okelah anda katakan rasa sakit adalah sinyal ketidak beresan dalam hidup anda. tapi taukah anda apa yg tidak beres? Blm tentu orang tau. Apakah Dia memberitahukan kepada anda ? Tidak!
ReplyDeletebelum tentu orang lain tau bagaimana perasaan saya ketika menghadapi kematian ayah dan setahun kemudian ibu saya. Apakah Tuhan memberi tahu alasan mengapa mereka harus hidup tersiksa dengan penyakit kronis? apakah manusia hanya hidup untuk merasakan penderitaan kemudian mati?
Deleteyang saya tau, saya hidup dan bernapas bukan oleh buatan manusia. ada sesuatu dalam jiwa saya yang membuat saya membuka mata setiap hari bangun dan duduk. saya hidup. bernapas. saya tau saya tidak punya jawaban yang pasti mengapa saya hidup. artikel ini pun tidak membuat jiwa saya puas.
saya ambil kesimpulan, saya tidak akan menyalahkan Tuhan. saya mau membuka mata, bangun. hidup tiap-tiap pagi hanya karena Tuhan. saya hidup karena Tuhan. Selanjutnya, saya hanya berserah.
Puji nama Tuhan..mungkin sy belum merasakan penderitaan berat seperti saudariku Mirna dan promomainan alami , tapi yang saya pahami dan coba saya mengerti adalah bahwa setiap manusia dikatakan didalam Firman Tuhan mengalami penderitaan yang sama..yang harus kita sadari adalah bahwa kita diciptakan serupa dan segambar dengan Allah, karena manusia jatuh dalam dosa maka kehilangan kemuliaan Allah dan terpisah dari Allah. Menurut saya penderitaan itu adalah ketika kita terpisah dari Allah Bapa. Tuhan Yesus sendiri mengalami penderitaan terpisah dari Allah Bapa ketika mati di kayu salib namun ketaatanNya terhadap perintah Bapa membuat Yesus Kristus dimuliakan dari segalanya. Didalam 1 Kor 10 : 13 dikatakan bahwa pencobaan-pencobaan yang kita alami merupakan pencobaan biasa dan tidak melampaui kekuatan kita dan ketika kita dicobai Tuhan akan memberikan jalan keluar. Saudara/i ku ingatlah bahwa tujuan kita ada di bumi ini adalah untuk m emuliakan Tuhan dan tujuan Tuhan datang ke bumi ini adalah untuk membawa kita kepada kemuliaanNya namun untuk masuk ke surga atau dunia yang baru yang Tuhan sediakan kita harus mengalami proses baik penderitaan maupun kegembiraan karena terkadangpun kesenangan itu membuat kita jatuh dalam dosa..Kuncinya adalah ketaatan dan fokus pada melakukan kehendak Bapa, kalau Tuhan Yesus mau memilih seperti manusia memilih ketika harus mati di kayu salib mungkin Dia akan menyuruh malaikatNya untuk membunuh serdadu romawi tapi Tuhan mengajari kita unutk taat bahkan taat sampai mati maka kitapun akan dipermuliakan seperti Tuhan Yesus. Bagaimana kita meresponi penderitaan tersebut ? Iblis bekerjanya selalu menyerang pikiran kita, ketika kita mengalami penderitaan iblis akan menembakan ke dalam pikiran kita untuk menyalahkan keadaan, diri sendiri, bahkan terlebih lagi menyalahkan Tuhan...iblis adalah mahkluk pemberontak dan akan berusaha sekuat kuatnya untuk mengajak kita berontak terhadap Allah dan melakukan dosa. iblis adalah bapa pendusta dan tipu muslihat adalah senjatanya..untuk itu kalau kita mengalami penderitaan dan pencobaan datanglah kepada Yesus dan FirmanNya..carilah perkataan Tuhan dalam FirmanNya untuk menhadapi segala penderitaan dan kesulitan. Tetaplah taat dan setia dalam penderitaan dan percayalah kepada Tuhan maka kita akan memperoleh mahkota kemenangan..bumi hanya tempat tinggal sementara..kita adalah warga kerajaan sorga..amin
ReplyDelete