Solo Atau Simfoni?
Saat lampu-lampu auditorium
diredupkan dan tirai dinaikkan, para penonton konser mengakhiri percakapan dan
mengalihkan perhatian ke panggung. Sang dirigen melangkah ke podium dan memberi
hormat atas sambutan hangat yang diberikan penonton.
Kemudian dirigen tersebut
berbalik menghadap para pemain musik. Ia mengangkat tongkatnya dan memulai
konser dengan satu gerakan isyarat yang dramatis. Namun yang terjadi kemudian
benar-benar kacau. Pada menit-menit pertama, musik melantun dengan selaras.
Namun setelah itu hanya beberapa pemain musik yang terus mengikuti instruksi
sang dirigen.
Pemusik yang lain hanya
bermain ketika mereka ingin memainkannya atau malah memainkan irama yang sangat
berbeda. Seorang pemain biola berjalan di depan panggung dan memainkan karya
musik ciptaannya sendiri. Sang pemain trombon tiba-tiba memainkan lagu jazz.
Kekacauan semakin menjadi-jadi.
Para penonton terdiam, tercengang selama
beberapa menit, kemudian satu per satu melangkah pergi dengan keheranan atas
apa yang terjadi. Untunglah situasi di atas hanya khayalan. Para musisi piawai
yang bermain dalam sebuah orkestra tidak akan bertindak demikian. Mereka
sepakat untuk mengikuti instruksi sang dirigen. Mereka adalah bagian dari
sebuah simfoni dan bukan pemain-pemain solo yang bermain pada saat yang
bersamaan.
Sayangnya, kita yang telah
menyatakan diri sebagai pengikut Kristus sering bertindak seperti anggota
orkestra khayalan tersebut. Barangkali kita merasa tidak mungkin berbuat
seperti itu, tetapi kita semua punya kecenderungan untuk memimpin kehidupan
kita sendiri. Kita cenderung memusatkan perhatian pada kepentingan pribadi dan
merasa cukup bijaksana dan cukup kuat untuk mengatur hidup. Tujuan-tujuan kita
rasanya lebih berarti dan penting dibandingkan tujuan-tujuan Allah bagi kita.
Walaupun enggan mengakuinya, sering kali kita bertindak seolah Allah harus
memenuhi apa yang kita inginkan. Ini dapat terjadi meski kita sudah mengetahui
kebenaran-kebenaran yang dinyatakan Alkitab.
Kita sangat bersyukur atas
pengurbanan Kristus di atas kayu salib dan dengan sukacita menerima pengampuan
serta kehidupan kekal yang ditawarkan-Nya, tetapi hal-hal lain dapat
mengalihkan perhatian kita. Kita mungkin lupa bahwa sebagai bagian dari "simfoni"-Nya,
yakni sebagai warga negara kerajaan-Nya dan anggota gereja-Nya, kita harus
tunduk pada pimpinan-Nya atas hidup kita. Dia adalah sang Dirigen, Kepala, Raja
yang harus kita layani. Seharusnya, tujuan hidup kita yang baru adalah
melakukan kehendak-Nya. Dia rindu membimbing kita untuk hidup sebagai umat
Allah yang dapat diteladani oleh para "penonton," yaitu orang-orang
yang belum percaya di sekitar kita. Dia ingin kita memperlihatkan kesungguhan
pengakuan iman percaya kita.
Apa yang Dikehendaki Kristus dari Kita?
Apa
yang dikehendaki seorang dirigen dari para pemain musik?
Apa
yang dikehendaki seorang guru dari para muridnya?
Apa
yang dikehendaki seorang atasan dari para bawahannya?
Apa
yang dikehendaki seorang pelatih dari para pemainnya?
Apa
yang dikehendaki orangtua dari anak-anaknya?
Apa
yang dikehendaki seorang jenderal dari para prajuritnya?
Apa
yang dikehendaki seorang penguasa dari para warga negaranya?
Semua hubungan ini mempunyai
unsur yang pada dasarnya sama. Setiap pemimpin ingin para pengikut mengikuti
petunjuknya, meminta pertolongannya, mengupayakan segala sesuatu untuk
menyelesaikan tugas-tugas, setia kepadanya lebih dari hubungan-hubungan yang
lain, dan mempraktekkan ajarannya. Tatkala memikirkan apa yang dikehendaki
Kristus dalam hidup ini, mungkin kita merasa tidak nyaman. Apalagi hubungan
kita dengan Kristus jauh lebih berpengaruh daripada pertunjukan musik atau
pertandingan bola — karena hubungan itu mempengaruhi segala hubungan kita yang
lain, kehidupan kekal kita, dan sukacita kita saat ini. Sebagian besar dari
kita mungkin menganggap tuntutan-tuntutan tersebut terlalu berat.
Namun kita harus mengakui
bahwa terkadang hubungan kita dengan Kristus tidak terjalin sebagaimana
mestinya, karena kita takut untuk banyak berkorban bila sungguh-sungguh taat
kepada-Nya. Ketika membaca kisah tentang orang-orang Kristen yang berdoa
berjam-jam setiap hari, atau yang dengan sabar menanggung penganiayaan, atau
yang meninggalkan segalanya untuk melayani Tuhan, kita merasa tak berarti.
Dalam hati kita bertanya-tanya apa yang sebenarnya Tuhan kehendaki dari
orang-orang Kristen "biasa" seperti kita. Lagi pula, ada begitu
banyak orang percaya di sekitar kita yang telah kehilangan antusiasme mereka
sehingga kita tidak ingin tampak menonjol seperti "ibu jari yang
bengkak." Kita merasa "harus" mengikuti status quo dari
komunitas kristiani tempat kita beribadah dan melayani. Padahal kita tahu bahwa
sebenarnya kita harus berbuat lebih banyak dalam mengikut Kristus.
Melalui pembahasan ini kita
akan menemukan kembali arti menjadi murid Kristus. Kita akan melihat bahwa yang
harus mengabdi kepada-Nya bukan hanya orang-orang tertentu. Dia tidak menuntut
hal-hal yang mustahil. Dia tahu dari apa kita ini diciptakan dan dengan sabar
Dia akan membimbing saat kita belajar lebih dalam tentang arti ketaatan
kepada-Nya. Dia juga membantu kita menjalankan perintah-Nya. Hal-hal yang
Kristus kehendaki dari kita dapat diringkas dalam empat kata kunci: kebergantungan,
risiko, kesetiaan, dan keserupaan dengan Dia.
KEBERGANTUNGAN
Yesus
berkata, "Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Sama seperti ranting
tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok
anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam
Aku. Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal
di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu
tidak dapat berbuat apa-apa… Semuanya itu kukatakan kepadamu supaya
sukacita-Ku ada di dalam kamu dan sukacitamu menjadi penuh" (Yohanes
15:4,5,11).
Apa yang
Anda peroleh dari pelajaran tentang pokok anggur? Yesus menggunakan analogi pokok anggur
untuk menjelaskan unsur yang terpenting, yakni ketaatan kepada-Nya. Ketaatan
kita akan bertumbuh jika ada hubungan yang dekat dengan Tuhan. Sebagaimana
ranting pokok anggur hanya akan menghasilkan buah jika tinggal pada pokoknya
dan dan mengambil sari-sari makanan dari situ, demikian pula kita dapat
menghasilkan buah-buah ketaatan hanya jika kita terus melekat dan menerima
sari-sari makanan serta kekuatan dari Tuhan. Kehidupan yang terus-menerus
bergantung kepada Kristus, tidak hanya menyenangkan Tuhan tetapi juga
memberikan sukacita besar bagi kita (Yohanes 15:11). Jadi, yang
seharusnya dipertimbangkan bukanlah penyerahan diri yang tidak wajar pada
kehidupan yang sengsara karena menjalankan perintah Allah, melainkan
kehidupan yang akan memberikan kepenuhan. Kita akan merasa puas akan
kehidupan yang berbuah tersebut saat kita "tinggal" dalam Kristus.
Bagaimana
kita bisa "tinggal" dalam Kristus? Agar dapat hidup dekat dengan
Kristus, kita harus bergantung kepada hikmat, kekuatan, dan petunjuk Allah
dalam kehidupan. Agar dapat intim dengan Dia, kita tidak boleh membiarkan ada
ketidaktaatan atau tindakan-tindakan yang semestinya kita tinggalkan. Dengan
mengaku dosa-dosa kita, hubungan kita dengan Allah tidak akan terhalang dan
kita akan diampuni (1Yohanes 1:5-10). "Tinggal" juga berarti
mendengarkan dengan segenap hati apa yang telah difirmankan Allah dalam
Alkitab — bukan cuma berusaha memenuhi kewajiban membaca Alkitab setiap hari,
tetapi juga memikirkan dan mendoakan apa yang kita baca. Seperti halnya Anda
menunjukkan rasa hormat dan kasih kepada lawan bicara Anda dengan
mendengarkan baik-baik dan menanggapinya, kita pun perlu menjadikan kegiatan
membaca Alkitab sebagai saat untuk lebih mengenal Allah.
"Tinggal"
juga berarti menggunakan waktu untuk mengungkapkan pemikiran-pemikiran, luka
hati, keinginan-keinginan, bahkan hal-hal yang terkecil dalam hidup kita,
kepada Tuhan. Dia ingin kita menceritakan kepada-Nya setiap keberhasilan
maupun hal-hal yang mempermalukan kita. Dia sangat mempedulikan kita.
Pengajar Alkitab Warren Wiersbe menulis, "Sekali saja Anda
mulai menggali hubungan yang lebih dalam dengan Kristus, maka Anda tak akan
mau kembali pada kehidupan dangkal yang dimiliki orang Kristen yang
sembarangan" (Be Transformed, hal. 42). Tinggal dalam Kristus
sangatlah esensial jika kita ingin menyenangkan Allah. Kita tak dapat
menjalani hidup kekristenan dengan kekuatan sendiri yang berasal dari
dorongan kehendak sendiri. Kita harus hidup dengan terus-menerus bersandar
kepada Kristus.
Yesus berkata, "Di luar Aku kamu tidak
dapat berbuat apa-apa" (Yohanes 15:5). Dia tidak berkata kita
dapat berbuat sedikit hal atau beberapa hal, namun Dia
menegaskan bahwa kita tidak dapat berbuat apa apa untuk menyenangkan
Allah tanpa Dia bekerja di dalam dan melalui kita. Sebagaimana kita
diselamatkan oleh kasih karunia Allah melalui iman dalam Kristus (Efesus
2:8,9), kini kita hidup bagi Allah dengan mempercayai Kristus.
Rasul
Paulus menekankan hal ini dalam suratnya kepada orang-orang percaya di
Galatia. Ia berkata, "Kamu telah mulai dengan Roh. Maukah kamu sekarang
mengakhirinya di dalam daging?" (Galatia 3:3). Dan, kepada
orang-orang Roma Paulus menulis, "Di dalamnya Injil nyata
kebenaran Allah, yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman, seperti
ada tertulis: ‘Orang benar akan hidup oleh iman’" (1:17). Iman
membutuhkan kebergantungan kepada Kristus, penyerahan penuh kepada-Nya.
Pertama demi keselamatan, berikutnya agar kita mampu menjalani hidup
kekristenan.
Apa yang
terjadi bila kita berusaha hidup tanpa bergantung kepada-Nya? Jika tidak mengandalkan Kristus, kita
dapat berakhir dengan salah satu atau beberapa kondisi di bawah ini. Kita
akan:
dikalahkan oleh kebiasaan-kebiasaan yang berdosa
dikuasai sederet peraturan dan larangan
menipu diri sendiri atau munafik
dilanda kehampaan batin
tertekan karena tidak ada sukacita
kepayahan karena sibuk berjuang dengan kekuatan sendiri
frustrasi karena merasa jauh dari Allah
terjebak dalam hal-hal duniawi.
Berbuah
seperti apakah hidup mereka yang tinggal dalam Kristus? Galatia 5 menyebutkan beberapa
karakteristik dari orang yang hidup bergantung kepada Kristus dan Roh Kudus.
Buah Roh itu meliputi kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan,
kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, dan penguasaan diri (ayat 22,23). Rasul
Petrus menyebutkan karakterisik-karakteristik berikut sebagai bukti dari
kehidupan yang bertumbuh menuju keserupaan dengan Kristus (#/TB 2Petrus
1:5-7).
Iman
Kebajikan
Pengetahuan
Penguasaan diri
Ketekunan
Kesalehan
Kasih akan saudara-saudara
Kasih akan semua orang
Petrus berkata, "Apabila semuanya itu ada padamu
dengan berlimpah-limpah, kamu akan dibuatnya menjadi giat dan berhasil dalam
pengenalanmu akan Yesus Kristus, Tuhan kita" (ayat 8).
Kita perlu mengevaluasi hidup kita berdasarkan
karakteristik-karakteristik di atas. Petrus dan Paulus mengatakan bahwa semua
itu harus dimiliki oleh mereka yang berjalan bersama Kristus, dengan
bergantung kepada Roh Kudus yang hidup dalam diri mereka. Sudahkah kita
menghasilkan buah roh? Jika belum, mengapa?
Selama Allah mengontrol kehidupan ini, satu-satunya
alasan mengapa Anda terus hidup adalah untuk menghasilkan buah. — Erwin
Lutzer
Bagaimana
doa dapat menunjukkan ketergantungan kita kepada Kristus? David Brainerd (1718-1747) melayani
sebagai utusan Injil bagi orang-orang Indian, suku Delaware dan Seneca di
Amerika Utara, dan meninggal pada usia 29 tahun. Ia meninggalkan sebuah buku
harian yang di dalamnya tertulis bahwa setiap hari ia berdoa paling tidak 2
jam, dan sering melakukan doa puasa selama 48 jam. Martin Luther pernah
mengatakan bahwa ia butuh waktu 3 jam untuk berdoa sebelum menghadapi hari
yang begitu sibuk dan penuh tantangan. Apakah itu berarti Allah mengharapkan
kita berdoa sedikitnya 3 jam setiap hari? Apakah Allah menginginkan kita
menyediakan waktu 12 jam dalam sehari untuk doa puasa? Mungkin, tetapi tidak
harus. Meski Dia menghendaki kita berdoa,
Dia tidak
memberikan ketentuan waktu. Memang semua orang percaya yang membawa pengaruh
besar bagi kemuliaan Allah tekun berdoa, tetapi tidak semua dari mereka
menghabiskan waktu berjam-jam setiap hari untuk berdoa. Sebagian dari mereka
justru berdoa kepada Allah dengan tenang, sederhana, singkat, dan penuh
pengharapan. Dan, Allah menjawab mereka juga! Manakala Paulus menulis,
"Tetaplah berdoa" (1Tesalonika 5:17), tentu ia tidak
bermaksud mengatakan bahwa kita harus berdoa 24 jam sehari. Ia sadar bahwa
kita juga perlu waktu untuk bekerja, makan, dan tidur. Namun kita harus peka
terhadap kehadiran Allah di sepanjang waktu sehingga kita perlu terus-menerus
"berada dalam sikap doa," apa pun yang kita alami. Dalam Yohanes
15, Yesus menyebutkan pentingnya tinggal di dalam Dia jika kita ingin
menerima jawaban doa (ayat 7). Jika kita dekat dengan-Nya,
permintaan-permintaan kita pun pasti seturut dengan kehendak-Nya.
|
Saran
dalam
berdoa Empat
kata kunci yang perlu Anda ingat saat berdoa: menyembah,menghargai,mengakui,
memohon. Sembahlah Tuhan dengan memuji-Nya dan nyatakan hasrat untuk
menghormati-Nya melalui hidup Anda. Biarkan Allah tahu seberapa besar Anda menghargai
apa yang telah dilakukan-Nya. Akui dosa-dosa Anda dan terima
pengampunan-Nya. Dan, memohonlah agar Dia mengabulkan doa Anda.
Mungkin pada awalnya, waktu berdoa Anda cukup
singkat. Namun saat Anda bertumbuh dalam kepekaan akan keberadaan Allah, maka
Anda akan selalu menaikkan pujian dalam hati atau menaikkan permohonan
sepanjang hari. Kehidupan doa Anda pun akan semakin kaya dan memuaskan.
Apa yang dapat dilakukan
untuk menyingkirkan hal-hal yang menghalangi hubungan kita dengan Tuhan?
Dalam 1Yohanes 1:9
dikatakan, "Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil,
sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala
kejahatan."
Ayat ini bukanlah rumus untuk
memperoleh keselamatan. Tatkala kita menerima Yesus sebagai Juruselamat,
berarti kita telah diampuni, di terima dalam keluarga Allah, dan menjadi warga
kerajaan surga (Roma 5:1,2; Efesus 2:1-10).
Jika kita sudah diampuni,
mengapa kita masih perlu mengakui dosa-dosa kita? Apa yang akan terjadi jika
kita tidak mau mengakui dosa-dosa tertentu karena kita tidak ingin
menghentikannya? Seberapa rincikah pengakuan itu seharusnya dilakukan? Meski
kita telah diampuni saat memutuskan untuk beriman kepada Kristus sebagai
Juruselamat, dosa-dosa yang diperbuat setelah saat itu tetap dapat menghalangi
kita untuk menjalin hubungan yang dekat dengan-Nya. Oleh sebab itu, kita harus
mengakui segala dosa kita kepada Allah, menerima pengampunan-Nya, dan memohon
pertolongan-Nya supaya kita menang atas dosa.
Ketika mengaku dosa, ungkapkan
kepada Allah bahwa kita telah berdosa kepada-Nya. Kita tidak perlu membela diri
atau bersusah payah mengingat-ingat berbagai pelanggaran di masa lampau yang
tidak kita sadari. Kita juga tidak perlu tenggelam dalam rasa bersalah. Yang
perlu kita lakukan hanyalah mengakui dosa-dosa yang kita sadari dan memohon
pertolongan Allah untuk mengatasinya. Sebenarnya tuntutan Allah sederhana saja.
Namun bila kita memandang remeh perbuatan dosa, maka akan timbul masalah yang
sangat serius. Jika kita tidak mau mengakui dosa karena tidak berniat
meninggalkannya, maka kita akan dihukum. Ibrani 12:6,7 berbunyi,
"karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang
yang diakui-Nya sebagai anak. Jika kamu harus menanggung ganjaran; Allah
memperlakukan kamu seperti anak. Di manakah terdapat anak yang tidak dihajar
oleh ayahnya?"
Namun jika kita bersikeras
untuk tidak taat, hajaran ini dapat diberikan dalam bentuk penyakit atau bahkan
kematian (1Kor 11:29,30). Kehidupan kristiani yang penuh sukacita tidak
mungkin dimiliki oleh orang yang memandang remeh terhadap dosa. Persoalan yang
paling mendasar adalah kita harus mengerti bahwa untuk hidup taat kita perlu
bergan tung penuh kepada Tuhan. Ketaatan yang Allah inginkan, muncul dari
hubungan yang didasarkan atas kasih dan keyakinan kepada Yesus Kristus. Ketika
kita bersandar kepada-Nya, ketaatan akan menjadi kerinduan hati kita.
Pikirkan Lebih Lanjut. Bagaimana Anda menggambarkan hubungan pribadi Anda dengan
Kristus? Apakah Anda bertumbuh semakin dekat kepada-Nya? Apakah setiap hari
Anda belajar bergantung kepada Allah, sebagai sumber kekuatan, hikmat,
tuntunan, dan kesanggupan untuk melayani-Nya melalui perkataan dan perbuatan?
Apakah Anda menyediakan waktu khusus untuk membaca Alkitab dan berdoa serta
meminta petunjuk Allah tentang apa yang perlu Anda ketahui dan lakukan? Apakah
Anda mempunyai jadual khusus untuk berdoa? Kenalilah penghalang-penghalang yang
mengganggu hubungan Anda dengan Kristus dan mohonlah agar Allah membantu Anda
mengatasinya.
RISIKO
Yesus berkata, "Setiap
orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya
setiap hari dan mengikut Aku. Karena barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia
akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia
akan menyelamatkannya. Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia
membinasakan atau merugikan dirinya sendiri?" (Lukas 9:23-25).
Apa yang hendak kita cari? Banyak orang bertanya demikian saat mereka dihadapkan pada
risiko besar. Seorang pendaki gunung misalnya, mungkin bertanya-tanya apakah
risiko pendakiannya sebanding dengan sensasi yang akan dirasakannya setelah
mencapai puncak. Ketika oto-ototnya serasa akan putus, ketika angin keras
menerpa, ketika keraguan akan tali penyelamat terlintas dalam pikiran, atau
ketika ia merasa sulit bernapas karena kekurangan oksigen, maka ia akan tergoda
untuk berhenti mendaki. Kepanikan semacam itulah yang menyerang seorang prajurit.
Selama Perang Dunia II,
seorang anak muda yang berjiwa patriotik merasa dirinya adalah pejuang gagah
berani yang akan ikut membebaskan Kepulauan Pasifik Selatan dari Pendudukan
Jepang. Karena itu ia mendaftarkan diri dalam korps marinir. Namun ia sangat
kecewa ketika tugas pertama yang diterimanya adalah bekerja di bagian
administrasi. Ia mengungkapkan kekecewaannya kepada para penyelia sehingga ia
dipindahkan ke unit perang. Beberapa bulan kemudian ia mendarat di Guadalcanal. Pemandangan pertama yang dilihatnya adalah
sebuah truk berisi penuh mayat para anggota marinir yang ditumpuk seperti kayu.
Pada saat itulah ia berpikir, Apa yang aku cari sekarang? Barangsiapa
memegang perintah-Ku dan melakukannya, dialah yang mengasihi Aku. — Yesus (Yohanes
14:21)
Banyak pengikut Kristus juga bertanya-tanya
seperti itu. Ketika membaca perkataan Kristus tentang memikul salib dan
kehilangan nyawa mereka karena Dia, tiba-tiba mereka merasa telah
menandatangani misi bunuh diri dan bukannya menikmati suatu perjalanan wisata
seperti yang mereka harapkan. Mungkin sebelumnya mereka mendengar bahwa dengan
menerima Yesus sebagai Juruselamat, Dia akan membawa damai dan sukacita saja
dalam hidup mereka, sehingga sedikit pun mereka tidak mengantisipasi penderitaan
yang akan muncul.
Apa artinya menyangkal
diri? Penyangkalan diri bukan berarti
berpantang terhadap makanan tertentu, pergaulan tertentu, atau hal-hal baik
lain yang hanya akan membuat kita menderita. Bukan pula berarti membangun
kepribadian yang lemah, tidak asertif. Sebaliknya menyangkal diri berarti
menempatkan perintah dan pernyataan Kristus di atas kehendak kita sendiri. Jika
apa yang diinginkan Kristus dari kita bertentangan dengan apa yang kita
inginkan, maka kita harus berkata "tidak" pada diri sendiri dan
"ya" kepada-Nya. Memang tidak mudah! Namun ini bukannya tidak
berdasar atau tidak beralasan. Dengan pertolongan Allah, kita dapat
menaati-Nya. Dan, kita akan merasa berbahagia ketika melakukannya.
Apa artinya memikul salib
setiap hari dan mengikut Dia? Yesus
bertanya apakah kita bersedia menyerahkan hidup kita kepada-Nya, mengikut
jalan-Nya, dan bahkan mati untuk-Nya. Namun bukan berarti bahwa kita harus
membuat diri kita menderita atau melakukan hal-hal yang dapat menimbulkan
penganiayaan. Memikul salib dapat berarti aniaya besar, seperti yang terjadi di
banyak negara, sekalipun bisa juga berarti hanya sedikit aniaya. Dalam hal
memikul salib, yang diperhitungkan di hadapan Allah adalah sikap kita, bukan
banyaknya penderitaan atau rasa malu yang kita alami.
Apakah artinya kehilangan
nyawa bagi Dia? Ketika Yesus berkata,
"Barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan
menyelamatkannya" (Lukas 9:24), Dia tidak mengatakan bahwa kita
harus mati sebagai martir. Yang Dia tekankan adalah bagaimana kita harus
menginvestasikan hidup ini. Jika seseorang menginvestasikan hidupnya untuk
mengejar kesenangan diri sendiri dan ketenaran duniawi, maka ia akan
"kehilangan" hal itu. Lagi pula, segala sesuatu yang duniawi hanya
bersifat sementara. Di lain pihak, seseorang yang menginvestasikan hidupnya
dalam Allah akan menuai upah yang besar. Seperti halnya biji gandum yang
terkubur dan mati, untuk kemudian bertumbuh dan memberikan hasil, demikian pula
orang percaya yang "kehilangan nyawanya" akan diselamatkan dalam
kekekalan yang mulia (Yohanes 12:24,25).
Haruskah kita menanggapi
kata-kata tersebut dengan serius? Para utusan Injil seperti David Livingstone, Hudson
Taylor, dan William Carey menanggapi perkataan tersebut dengan serius. Mereka
meninggalkan semua kenyamanan hidup dan menanggung berbagai kesulitan yang
berat dan tak terbayangkan untuk mengabarkan Injil ke banyak negara. Hal yang
sama juga banyak terjadi sampai saat ini — dan bukan hanya terbatas pada para
utusan Injil asing. Ada
yang menerjemahkan Alkitab, melayani persekutuan-persekutuan, memprogram
komputer, atau merawat anak-anak, dan mereka semua adalah utusan-utusan Tuhan
yang berani.
Bagaimanakah orang-orang
percaya telah dianiaya? Penulis kitab
Ibrani mengatakan bahwa orang-orang saleh pada masa Perjanjian Lama
"diejek dan didera," "dibelenggu dan dipenjarakan."
"Mereka dilempari, digergaji, dibunuh dengan pedang, mereka mengembara
dengan berpakaian kulit domba dan kulit kambing, sambil menderita kekurangan, kesesakan,
dan siksaan" (Ibrani 11:36,37). Pada masa-masa awal gereja
mula-mula, Stefanus dianiaya dan dirajam batu (Kis 6; 7), Rasul Yakobus
dibunuh dengan pedang (Kis 12), dan para rasul terus-menerus dipenjara
karena menjadi saksi Kristus. Mengasihi Allah secara sungguh-sungguh berarti
menghidupi perintah-perintah-Nya, berapa pun harga yang harus dibayar. —
Charles Colson
Sejarah gereja mengungkapkan
kepada kita bahwa semua rasul, kecuali Yohanes, menjalani hukuman mati. Pada
abad-abad pertama orang-orang Kristen diburu seperti binatang liar, dihukum
mati dengan cara dilemparkan kepada singa-singa yang kelaparan dan dibakar
seperti obor. Pada abad-abad sesudahnya, berjuta-juta orang percaya telah
menderita dan mati sebagai martir bagi Kristus. Banyak orang dalam sejarah masa
kini telah menderita karena iman mereka dalam kamp-kamp penjara atau institusi
psikiatri. Bahkan di alam demokrasi sekalipun, orang-orang Kristen yang setia
sering dijadikan objek cemoohan dan mendapat perlakuan yang tidak adil.
Perlukah kita mengharapkan aniaya
pada masa sekarang ini? Pada malam sebelum
disalib, Yesus memperingatkan murid-murid-Nya, "Jikalau mereka telah
menganiaya Aku, mereka juga akan menganiaya kamu" (Yohanes 15:20).
Kepada Timotius, Paulus menulis, "Memang setiap orang yang ingin hidup
beribadah di dalam Kristus Yesus akan menderita aniaya" (2Tim 3:12).
Kita yang percaya kepada Yesus Kristus dan ingin menyenangkan-Nya akan
mengalami penolakan dari orang-orang yang tidak ingin mengikut jalan Allah.
Entah di tempat kerja, di sekolah, di lingkungan sekitar kita, atau bahkan di
rumah. Ketika kita memutuskan untuk melakukan dan mengatakan apa yang
menyenangkan Kristus, kita akan menghadapi pertentangan. Orang yang hidup hanya
untuk mencari kesenangan diri sendiri akan marah melihat gaya hidup mereka yang berusaha mempraktekkan
iman. Mereka mengadakan pertentangan dengan menyalahartikan apa yang dipercaya
orang Kristen, mengolok-olok mereka, atau berusaha menyakiti hati mereka.
Bagaimana kita dapat
menghindari aniaya yang tidak perlu? Meski
Alkitab meminta kita siap menghadapi penderitaan dan mengajarkan bahwa
ujian-ujian kehidupan dapat menjadi alat untuk membangun karakter kita (Roma
5:1-5, Yakobus 1:1-8), tetapi Alkitab tak pernah menyuruh kita mencari-cari
masalah. Sebaliknya, Alkitab mendorong kita supaya menjadi warga negara yang
baik dan berbuat sebaik mungkin bagi pemerintah (Roma 13:1-7, 1Petrus
2:11-25). Paulus berkata bahwa seyogyanya kita berdoa "untuk raja-raja
dan untuk semua pembesar, agar kita dapat hidup tenang dan tenteram dalam
segala kesalehan dan kehormatan" (1Tim 2:2). Kita harus hidup
berdamai dengan orang lain, dan untuk itu kita mesti memulainya lebih dulu (Roma
12:18). Namun keadaan yang sangat damai ternyata juga mengandung tantangan.
Kita dapat dengan mudah menyerah pada godaan untuk berpikir secara duniawi atau
hidup bagi hal-hal duniawi. Jika kita melakukannya, berarti kita adalah
pecundang. Namun jika kita memfokuskan perhatian pada hal-hal yang kekal sambil
menikmati masa yang dijalani sekarang, maka kita akan memperkaya diri sendiri
dan orang lain. Dalam banyak segi, hal ini lebih banyak menimbulkan tantangan
daripada pertentangan. Namun dengan Roh-Nya kita dapat memiliki pemikiran
surgawi sementara menikmati kehidupan di dunia.
Pikirkan Lebih Lanjut. Adakah kesetiaan Anda kepada Kristus membuat Anda tampak
"aneh" di mata teman-teman, rekan kerja, tetangga, dan keluarga Anda?
Adakah orang-orang yang belum percaya menanggapi secara positif ketika Anda
berusaha berbicara tentang iman Anda? Apakah Anda mengizinkan orang lain
mengetahui bahwa Anda pengikut Kristus? Apa yang terjadi manakala Anda menolak
untuk mengikuti aktivitas teman-teman yang Anda tahu akan mengecewakan Tuhan?
KESETIAAN
Ketika berbicara di hadapan
orang banyak, Yesus berkata, "Jikalau seseorang datang kepada-Ku dan ia
tidak membenci bapanya, ibunya, istrinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya
laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi
murid-Ku" (Lukas 14:26). Yesus memberitahu kedua belas murid-Nya,
"Barangsiapa mengasihi bapa atau ibunya lebih daripada-Ku, ia tidak
layak bagi-Ku; dan barangsiapa mengasihi anaknya laki-laki atau perempuan
lebih daripada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku" (Matius 10:37).
Kesetiaan seperti apakah
yang diinginkan Kristus? Para anggota korps marinir Amerika Serikat hidup dengan
motto Semper Fidelis yang artinya "Tetap setia." Ia harus
setia penuh kepada para komandannya dan terutama kepada komandan tertinggi,
yaitu Presiden Amerika Serikat. Seorang marinir memegang sumpahnya, bahkan
sampai mati, demi kepentingan negaranya. Ia tidak akan mau menjalankan
perintah dari musuh, ataupun berhenti di tengah jalan saat melaksanakan misi
militer. Ia berkomitmen untuk "tetap setia." Semper Fidelis
dapat juga menjadi motto bagi para pengikut Kristus.
Allah menuntut kita untuk
mengutamakan kesetiaan kepada-Nya lebih dari hubungan-hubungan yang lain —
maksudnya lebih dari keterikatan kita dengan setiap orang, hal-hal duniawi,
maupun tujuan-tujuan pribadi. Kedengarannya radikal, bukan? Kristus bahkan
menggunakan kata yang keras, yakni benci, untuk menjelaskan sikap yang harus
kita miliki terhadap semua orang termasuk keluarga. Istilah-istilah yang
keras digunakan untuk menekankan masalah ini karena Dia menganggap kesetiaan
dan ketidaksetiaan sebagai hal yang sangat serius.
Bagaimana keluarga dan
teman-teman dapat menggoyahkan kesetiaan kita? Untuk menjawab hal itu, mari kita lihat kehidupan
William Carey (1761-1834). Tatkala berusia 31 tahun, Carey mengatakan kepada
istrinya bahwa ia merasa Allah ingin dia pergi ke India sebagai utusan Injil. Pada
awalnya istrinya tidak mau pergi. Hal itu dapat dimengerti karena mereka
mempunyai 3 anak yang masih kecil dan sedang menantikan kelahiran anak yang
keempat. Airmata sang istri sangat menyentuh hati Carey yang begitu peka,
sehingga mereka membicarakannya lagi. Akhirnya mereka sepakat untuk tetap
pergi meski tidak bersamaan. Anak laki-laki mereka yang berusia 8 tahun akan
pergi bersama Carey lebih dulu. Satu atau dua tahun kemudian barulah istri
dan anak-anaknya yang lain akan menyusul. Ketika ayah Carey mendengar rencana
tersebut, ia berkata, "Apakah William sudah gila?" Kemudian dengan
segala cara ia berusaha mengurungkan niat Carey. Meski demikian, Carey
percaya bahwa Allah memang mengutus dirinya ke India. Karena itu ia lebih
memilih untuk menyenangkan Allah walaupun itu merenggangkan hubungannya
dengan orang-orang terdekatnya.
Apa sajakah yang dapat
menghalangi kesetiaan kita? Selain
ketegangan yang dapat muncul dalam keluarga karena kesetiaan kita kepada
Kristus, keberadaan orang lain dan aktivitas-aktivitas kita juga dapat
merebut hidup kita yang seharusnya hanya layak dimiliki Kristus. Rasul Paulus
memperingatkan orang-orang percaya di Roma, "Janganlah kamu menjadi
serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaruan budimu, sehingga
kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan
kepada Allah dan yang sempurna" (Roma 12:2).
|
Yohanes juga menasihatkan
kita agar berhati-hati terhadap godaan duniawi (1Yohanes 2:15,16).
Memelihara kebiasaan yang tidak berkenan kepada Allah atau dengan kata lain
di luar Kristus, akan membentuk sikap dan tindakan-tindakan yang dapat
memberi celah bagi Setan (1Yohanes 3:8; 5:19). Sebelum Yosua
meninggal, ia menantang bangsa Israel untuk meneguhkan kesetiaan
mereka kepada Tuhan. Ia berkata, "Pilihlah pada hari ini kepada siapa
kamu akan beribadah; allah yang kepadanya nenek moyangmu beribadah di
seberang Sungai Efrat, atau allah orang Amori yang negerinya kamu diami ini.
Tetapi aku dan seisi rumahku, kami akan beribadah kepada TUHAN" (Yosua
24:15)
Yesus juga berbirara tentang
sesuatu yang dapat menjauhkan kesetiaan kita dari Kristus, yakni uang. Kita
semua pasti selalu berhubungan dengan uang. Ia berkata, "Tidak seorang
pun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci
yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang
dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan
kepada mamon uang" (Matius 6:24). Paulus memperingatkan,
"Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu
uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman" (1Tim 6:10).
Mengapa pemusatan pada kepentingan diri sendiri dapat disebut bentuk
kesetiaan yang lain? Pada bagian
sebelumnya kita telah membaca bagaimana perintah untuk menyangkal diri (Lukas
9:23) diterapkan dalam keberanian kita untuk mempertaruhkan hidup dan reputasi
bagi Kristus. Pada bagian ini kita akan menerapkan perintah untuk menyangkal
diri dalam hal setia kepada Kristus dengan mengesampingkan cara hidup dan
cara berpikir kita yang berpusat pada diri sendiri. Pengabdian pada diri
sendiri untuk memenuhi kepentingan egois kita merupakan sumber dosa. Adam dan
Hawa adalah pengkhianat pertama dari rencana Allah, dan sejak itu semua orang
cenderung menempatkan kesetiaan kepada diri sendiri di atas kesetiaan kepada
Allah. Roma 3 mengingatkan, "Tidak ada seorang pun yang berakal
budi, tidak ada seorang pun yang mencari Allah… Rasa takut kepada Allah tidak
ada pada orang itu" (ayat 11,18).
Keputusan
untuk berlaku setia melibatkan risiko juga. Sebagai contoh, Nuh memutuskan
untuk hidup bagi Allah dan tidak mengikuti cara orang-orang di sekitarnya (Kejadian
7,8; Ibrani 11:7). Musa memilih untuk setia kepada Allah dan bangsanya
daripada menikmati kesenangan hidup sebagai anggota keluarga Raja Firaun (Ibrani
11:24-27). Daniel dan ketiga temannya lebih memilih disebut pengkhianat
raja daripada mengorbankan kesetiaan mereka kepada Tuhan (Daniel 1:8;
3:1-28; 6:1-23). Rahab menunjukkan kesetiaannya kepada Allah Israel ketika orang-orang Israel hendak
menyerang Yerikho (Yosua 2:1-21; Ibrani 11:31).
Memang, Tuhan menghendaki agar Anda
mengasihi pasangan Anda, anak-anak Anda, orangtua Anda (Efesus 5:25,28;
Titus 2:4). Dia ingin Anda menghormati pemerintah. Dia juga ingin Anda
mengasihi diri sendiri karena kasih itu merupakan ukuran yang akan Anda
gunakan untuk mengasihi sesama (Matius 22:39; Lukas 10:27). Namun
kasih Anda kepada Allah harus sedemikian kuat sehingga ketaatan Anda
kepada-Nya ada di atas semua keinginan Anda, keluarga, teman-teman, atasan,
maupun masyarakat. Pikirkan Lebih Lanjut. Dengan melihat penggunaan waktu Anda,
kepada siapa sajakah Anda menunjukkan kesetiaan? Apa yang mesti dilakukan
agar pemikiran-pemikiran Anda mencerminkan kesetiaan kepada Tuhan? Apa
sajakah tekanan-tekanan di rumah atau di tempat kerja yang
"berisiko"? Di manakah harta Anda berada? (Matius 6:21).
Apakah standar-standar perilaku Anda mencerminkan kemurnian Allah, ataukah
Anda sedang dibentuk oleh dunia ini?
|
KESERUPAAN DENGAN DIA
Yesus berkata kepada para
murid-Nya, "Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat, sebab
memang Akulah Guru dan Tuhan. Jadi jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah
Tuhan dan gurumu, maka kamu pun wajib saling membasuh kakimu; sebab Aku telah
memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti
yang telah Kuperbuat kepadamu" (Yohanes 13:13-15). Pada kesempatan
yang lain, Yesus juga mendorong murid-murid-Nya untuk mengikut Dia (Lukas
9:23). Rasul Yohanes menulis, "Barangsiapa mengatakan, bahwa ia ada di
dalam Dia, ia wajib hidup sama seperti Kristus telah hidup" (1Yohanes
2:6). Dalam suratnya kepada jemaat di Korintus, Paulus menulis,
"Jadilah pengikutku, sama seperti aku juga menjadi pengikut Kristus"
(1Kor 11:1).
Apakah arti menjadi serupa dengan Kristus? Menjadi serupa dengan
seseorang berarti meniru segala tindakannya semirip mungkin, dan menjadikan
karakteristik-karakteristiknya sebagai model dalam hidup kita. Anak-anak
meniru orangtua. Disadari atau tidak, mereka mencontoh cara-cara ayah atau
ibunya berbicara, berjalan, dan berhubungan dengan orang lain. Melalui
perkataan dan perbuatan orangtua, anak-anak belajar tentang cara menanggapi
berbagai macam keadaan dalam hidup. Jika seorang ayah pulang ke rumah dan
menendang anjingnya, anaknya mungkin berpikir bahwa tingkah laku tersebut
dapat diterima sehingga ia akan melakukan hal yang sama. Jika seorang ayah
selalu bersikap jujur dalam perkataan maupun perbuatannya, sering kali
anak-anaknya akan melakukan juga hal tersebut. Sebagai anak-anak Allah yang
beriman dalam Kristus, kita harus meniru Dia. Kita harus belajar menaati Allah
dengan hidup seperti Yesus. Jika kita bergantung penuh kepada-Nya,
menyediakan waktu untuk berdoa dan belajar mengenal Dia melalui Alkitab,
niscaya kita akan rindu untuk meniru cara hidup-Nya. Sebagian besar dari apa
yang telah kita bicarakan dapat diterapkan dalam mengikut Kristus. Karena
itu, mari kita perhatikan bagaimana kita dapat menjadi serupa dengan Dia
dalam 3 aspek yang telah kita diskusikan, kemudian ditambah beberapa cara
tambahan yang akan membantu kita untuk mengikuti cara hidup-Nya.
Bagaimana Yesus memperlihatkan ketergantungan-Nya kepada
Allah Bapa?
Meski Yesus adalah Allah Anak, namun selama berada di dunia Dia dengan
sukarela menyerahkan kuasa ilahi-Nya supaya menjadi sama dengan kita (Filipi 2:5-11).
Dia hidup bergantung kepada Bapa dan Roh Kudus. Yesus berkata, "Anak
tidak dapat mengerjakan sesuatu dari diri-Nya sendiri, jikalau tidak Ia
melihat Bapa mengerjakannya… Aku tidak dapat berbuat apa-apa dari diri-Ku
sendiri; Aku menghakimi sesuai dengan apa yang Aku dengar, dan penghakiman-Ku
adil, sebab Aku tidak menuruti kehendak-Ku sendiri, melainkan kehendak Dia
yang mengutus Aku" (Yohanes 5:19,30). Kristus hidup dalam persekutuan yang terus-menerus dengan Bapa. Dia
selalu berdoa, meluangkan waktu untuk berbicara dengan Bapa-Nya, dan menerima
petunjuk bagi pelayanan-Nya. Penulis kitab Ibrani menyatakan bahwa Yesus
belajar taat melalui penderitaan (Ibrani 5:8). Dia menanggapi penderitaan dan pencobaan dengan cara yang benar
karena Dia bersandar kepada Bapa-Nya.
Bagaimanakah Yesus memberi teladan dalam menanggung
risiko?
Teladan yang paling nyata adalah saat Dia bersedia menjalani hukuman karena
dosa kita di atas kayu salib. Dia mempersembahkan segenap hidup-Nya untuk
melakukan kehendak Bapa. Petrus menulis, "Kristus pun telah menderita
untuk kamu dan telah meninggalkan teladan bagimu, supaya kamu mengikuti
jejak-Nya" (1Petrus 2:21). Dalam berbagai peristiwa selama
hidup-Nya di dunia, Yesus juga menanggung siksaan dari orang-orang yang tidak
menghargai apa yang harus dikatakan-Nya. Dia melawan kemunafikan para
pemimpin agama, mengutuk mereka yang tidak percaya, meluangkan waktu bersama
orang-orang yang dikucilkan masyarakat untuk membawa kabar keselamatan bagi
mereka, dan melakukan yang benar tanpa mempedulikan pendapat orang lain.
Bagaimana Yesus menunjukkan kesetiaan-Nya kepada Bapa? Selama Yesus dicobai di padang gurun, Setan
mengatakan bahwa ia akan memberikan semua bangsa kepada Yesus jika Dia mau
menyembahnya (Matius 4:8,9). Namun Yesus menunjukkan kesetiaan-Nya
kepada Bapa dengan berkata, "Ada
tertulis: Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah
engkau ber-bakti!" (ayat 10). Pada kesempatan lain, kerumunan orang
banyak berkumpul mengelilingi Yesus. Musuh-musuh-Nya menuduh Dia bekerja sama
dengan Setan karena Dia dapat mengusir Setan (Mrk
3:20-30). Waktu kaum keluarganya
mendengar hal itu, mereka berkata, "Ia tidak waras lagi" (ayat 21).
Tatkala Yesus mendengar bahwa keluarga-Nya hendak menemui-Nya, Dia malah
memandang orang-orang yang duduk di sekeliling-Nya dan berkata, "Ini
ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku! Barangsiapa melakukan kehendak Allah, dialah
saudara-Ku laki-laki, dialah saudaraKu perempuan, dialah ibu-Ku" (ayat
34,35). Kesetiaan-Nya kepada Bapa dan pengikut-pengikut-Nya menempati
prioritas yang lebih tinggi dari keluarga-Nya sendiri. Selain teladan Yesus
dalam hal bergantung kepada Bapa, menanggung risiko, dan kesetiaan, kita
dapat menemukan lebih banyak lagi teladan-Nya yang patut kita ikuti. Antara
lain cara Dia melayani orang lain, cara Dia menanggapi orang-orang yang
membutuhkan, cara Dia mengampuni, cara Dia menanggung pencobaan, dan cara Dia
menangani kekayaan.
Bagaimana cara Kristus melayani orang lain? Yesus menggambarkan
kehidupan-Nya seperti ini: "Anak manusia datang bukan untuk dilayani,
melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi
banyak orang" (Matius 20:28). Rasul Paulus menekankan bahwa kehidupan
Kristus merupakan teladan bagi kita ketika ia menasihati jemaat Filipi untuk
melayani seorang akan yang lain dalam kasih. Ia menasihati mereka untuk tidak
mengutamakan kepentingan diri sendiri, sebaliknya menganggap yang lain lebih
utama daripada dirinya sendiri (2:3,4). Ia meneguhkan mereka untuk mengikuti
sikap Kristus, yang mengambil sikap seorang hamba dan "merendahkan
diri-Nya dan taat sampai mati" (ayat 8). Barangsiapa mengatakan bahwa
ia ada di dalam Dia, ia wajib hidup sama seperti Kristus telah hidup. — 1Yohanes
2:6. Dalam suratnya kepada jemaat
Korintus, Paulus menulis, "Jadilah pengikutku sama seperti aku juga
menjadi pengikut Kristus" (1Kor 11:1). Paulus menginginkan agar jemaat Korintus mengikuti sikap pengurbanan
diri yang ditunjukkan Kristus karena hal itu akan membantu orang-orang
menemukan keselamatan (1Kor 10:33). Yesus telah memperlihatkan pelayanan yang rendah hati dengan cara
yang dramatis tatkala Dia membasuh kaki murid-murid-Nya (Yohanes 13). Dia berkata, "Jadi jikalau Aku
membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamu pun wajib saling
membasuh kakimu; sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya
kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu" (ayat
14,15). Kita harus mencontoh kerendahan hati-Nya dan bersedia mengesampingkan
"hak-hak" kita demi menolong orang lain. Pelayanan yang penuh kasih
bagi sesama ini berkaitan langsung dengan kasih kita kepada Allah. Yesus
berkata, "Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah
murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi" (Yohanes
13:35). Yohanes menulis, "Inilah
perintah-Nya itu: supaya kita percaya akan nama Yesus Kristus, Anak-Nya, dan
supaya kita saling mengasihi sesuai dengan perintah yang diberikan Kristus
kepada kita" (1Yohanes 3:23). Pada kenyataannya, kasih seperti yang dimiliKi Kristus merangkum
semua perintah yang Allah kehendaki untuk kita taati. Ketika berbicara kepada
seorang pemimpin agama Yesus berkata bahwa semua perintah tersebut dapat
diringkas menjadi dua: Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan
dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan kasihilah sesamamu
manusia seperti dirimu sendiri (Matius 22:34-40).
|
Bagaimana Kristus menanggapi mereka yang membutuhkan
pertolongan?
Yesus memperlakukan mereka dengan penuh kasih sayang. Dia menolong orang yang
sakit dan menyambut mereka yang dikucilkan oleh masyarakat seperti
"pemungut cukai dan orang berdosa" (Matius
9:10). Dia digerakkan oleh belas
kasihan yang besar ketika melihat begitu banyak orang yang lapar dan haus
secara rohani. Dia juga merindukan lebih banyak pekerja yang mau menyebarkan
kabar baik tentang keselamatan (Matius 9:36-38). Dia memberi makan ribuan orang yang lapar (Matius 15:32-39). Dia memberikan keselamatan dengan murah
hati kepada seorang pencuri yang bertobat, yang disalibkan bersama-sama
dengan Dia (Lukas 23:39-43).
Bahkan saat berada di atas kayu salib pun, Dia masih menanggapi perhatian
sang ibu (Yohanes 19:25-27).
Dia bersabar dengan Tomas yang selalu ragu-ragu (Yohanes 20:24-29). Dengan lemah lembut Dia meyakinkan
Petrus akan kasih-Nya, dan menguatkannya untuk tetap setia, bahkan setelah ia
menyangkal Tuhan (Yohanes 21:15-23).
Bagaimana Kristus mengampuni? Dalam suratnya kepada jemaat
di Efesus, Paulus berkata, "Hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang
lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam
Kristus telah mengampuni kamu. Sebab itu jadilah penurut-penurut Allah,
seperti anak-anak yang kekasih dan hiduplah di dalam kasih, sebagaimana
Kristus Yesus juga telah mengasihi kamu dan telah menyerahkan diri-Nya untuk
kita" (Efesus 4:32-5:2). Mungkin tidak mudah bagi kita untuk
meneladani Yesus dalam hal mengampuni orang lain yang telah menyakiti kita
begitu dalam. Namun kita akan mengalami sukacita pengampunan dan indahnya
bersekutu de ngan Allah manakala kita mengampuni mereka yang bersalah kepada
kita (Matius 6:14,15).
Renungkan kembali semua dosa Anda yang telah diampuni Allah. Sadarilah bahwa
kesalahan orang yang telah bersalah kepada Anda tak mungkin sama besarnya
dengan dosa Anda terhadap Tuhan. Lalu mulailah berdoa bagi mereka dan
bersedialah untuk mengampuni mereka. Jadilah pengikutku, sama seperti aku
juga menjadi pengikut Kristus. — Paulus (1Kor 11:1)
Bagaimana Kristus mengalahkan pencobaan? Ketika berada di padang gurun, sebelum
pelayanan-Nya di dunia, Yesus menghadapi pencobaan yang berat (Matius 4:1-11).
Setan mencobai Yesus dengan menyuruh Dia menghilangkan rasa lapar dengan
mengubah batu menjadi roti. Si jahat berusaha membuat Yesus menguji
kepedulian Bapa dengan menyuruh Yesus melompat dari bangunan yang tinggi.
Setan juga menyodorkan jalan pintas agar Yesus dapat menguasai seluruh
kerajaan di muka bumi jika mau menyembahnya. Namun dalam setiap pencobaan,
Yesus menanggapinya dengan kebenaran dan kuasa dari firman Allah. Penulis Mazmur
119 berkata, "Dalam hatiku aku
menyimpan janji-Mu, supaya aku jangan berdosa terhadap Engkau" (ayat
11). Rasul Paulus menyebut firman Tuhan sebagai "pedang roh" yang
kita gunakan dalam peperangan melawan kuasa setan (Efesus 6:17). Firman Tuhan merupakan bekal yang
diberikan Allah bagi kita agar dapat menang bahkan dari pencobaan yang paling
hebat sekalipun (1Kor 10:13).
Bagaimanakah Kristus memandang kekayaan? Seorang muda kaya yang
menganggap dirinya baik dan selalu memegang perintah Tuhan, bertanya apa yang
harus ia lakukan untuk memperoleh hidup kekal. Kepadanya Yesus berkata,
"Hanya satu lagi kekuranganmu: pergilah, juallah apa yang kaumiliki dan
berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di
surga" (Mrk
10:21). Kepada murid-murid-Nya, Yesus
juga pernah berkata, "Juallah segala milikmu dan berikanlah sedekah!
Buatlah bagimu pundi-pundi yang tidak dapat menjadi tua, suatu harta di surga
yang tidak akan habis" (Lukas 12:33). John Wesley, pendiri aliran Methodis (1703-1791) memperhatikan
baris-baris ayat tersebut dengan serius sehingga ia hidup sangat sederhana
dan memberikan penghasilannya sesegera mungkin setelah ia menerimanya. Semboyannya
ialah "Kumpulkan sebanyak mungkin, tabunglah sebanyak mungkin, berikan
sebanyak mungkin." Berdasarkan standar waktu itu, John Wesley
mengumpulkan uang dalam jumlah yang sangat besar, tetapi saat meninggal
beberapa bulan setelah ulang tahunnya yang ke-88, ia hampir-hampir tidak
meninggalkan satu sen pun. Ia benar-benar mempraktekkan apa yang
dikhotbahkannya. Apakah Allah menuntut semua pengikut-Nya melakukan hal yang
sama seperti orang muda kaya dalam kitab Markus tadi, yakni untuk menjual
semua yang mereka miliki dan memberikannya kepada orang miskin? Tentu tidak.
Buktinya, sahabat-sahabat-Nya, yakni Lazarus, Maria, dan Marta juga tetap
tinggal di rumah mereka di Betania. Kalau kita membaca Kisah Para Rasul, kita
juga tidak menemukan para rasul menuntut hal tersebut. Hubungan pribadi
kita dengan Bapa surgawi harus teguh, tetapi bukan berarti statis. Dia ingin
anak-anak-Nya terus bertumbuh dalam pengenalan akan Dia dan lebih dekat
kepada-Nya. — John. R. W. Stott. Tuhan ingin kita menikmati
hal-hal baik yang Dia berikan kepada kita, tetapi Dia mengingatkan supaya
kita mau membagi milik kita dengan sesama, dengan mata tertuju pada tuaian
yang kekal. Kita harus menyadari bahwa uang dan harta milik hanya bersifat
sementara, dan kita harus lebih peduli untuk mengumpulkan harta di surga (Matius 6:19-21).
Hal-hal di atas hanyalah beberapa cara yang dapat kita ikuti untuk meneladani
Kristus. Saat meluangkan waktu untuk membaca Injil, kita akan menemukan
cara-cara lain yang juga bisa diteladani sehingga kita dapat menyerupai Dia
dalam menghadapi berbagai situasi dan berbagai macam orang.
Pikirkan Lebih Lanjut. Tujuan kita menjadi pengikut Yesus Kristus adalah
untuk semakin mengenal Dia dan menjadi semakin serupa dengan-Nya. Hal itu
tidak akan terjadi dalam semalam, tetapi merupakan suatu proses pertumbuhan
dan pendewasaan yang tak akan pernah berakhir sampai kita bertemu Dia kelak.
Jika hal itu merupakan tujuan Anda, bagaimana Anda mengatur kembali prioritas
dalam kehidupan sehari-hari? Dengan cara apa Anda mengikuti teladan Kristus?
Adakah aspek-aspek hidup yang dapat dijalani menurut cara Anda sendiri?
|
Lagi!
Pada akhir suatu pertunjukan
rnusik yang memukau, para penonton mungkin akan berteriak, "Lagi!
Lagi" Itulah cara penonton mengungkapkan bahwa mereka menyukai apa yang
mereka dengar, dan ingin mendengarnya lagi. Di penghujung hari, setelah menyelesaikan
segala pekerjaan, menikmati makanan, menanggapi berbagai macam situasi, dan
berhubungan dengan berbagai orang, dapatkah kita membayangkan Yesus berkata,
"Lagi! Lagi!" kepada kita? Mungkinkah Dia ingin "melihat
pertunjukan kehidupan kita" diulang keesokan harinya? Anda tak perlu
berpikir bahwa Dia meminta kita harus sempurna hari ini dan hari-hari
berikutnya. Dia mengerti bahwa kadang kala kita gagal, bahwa kita perlu
terus-menerus berusaha dalam hidup ini, bahwa kita sedang dalam proses
pertumbuhan. Namun apakah Tuhan akan senang bila melihat kita bergantung
kepada-Nya, rela menanggung risiko karena Dia, setia kepada-Nya, dan rindu
untuk menjadi serupa dengan Dia? Mungkinkah Dia menyukai pertunjukan itu,
sehingga ingin melihatnya lagi? Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku
yang baik dan setia. — Matius 25:23.
Di akhir hidup kita, tatkala
kita berdiri di hadapan Kristus, kata-kata paling indah yang mungkin akan kita
dengar adalah, "Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan
setia" (Matius 25:23). Pujian tertinggi dari-Nya akan diberikan
kepada mereka yang dengan iman menerima anugerah keselamatan-Nya dan
terus-menerus hidup bergantung kepada-Nya. Yesus adalah "dirigen
konser" kehidupan kita. Jika kita mengikuti pimpinan-Nya, maka
"musik" yang kita hasilkan akan mendapat sambutan, "Lagi!"
dari-Nya untuk saat ini dan "Baik sekali," kelak di kemudian hari.
Definisi Istilah:
Murid: Seorang pengikut,
seorang pelajar. Istilah ini ditujukan kepada mereka yang memutuskan untuk
mengabdi dan taat kepada Yesus.
Bergantung: Mengandalkan,
percaya, atau beriman. Dalam buku ini, istilah tersebut mengacu pada hubungan
intim dengan Yesus yang harus kita miliki, yang mengungkapkan kasih kita dan
menunjukkan hikmat dan kekuatan-Nya.
Iman: Keyakinan,
kepercayaan, suatu ungkapan kepercayaan dan ketergantungan. Kita menerima
anugerah keselamatan oleh iman, dan menaruh jiwa kita dalam pemeliharaan
Kristus karena Dia menunjukkan bukti bahwa diri-Nya layak dipercaya, yakni
melalui kehidupan, kematian, dan kebangkitan-Nya. Kita harus hidup dalam
iman, dan terus-menerus bersandar kepada pertolongan Kristus.
Keselamatan: Pengampunan atas
dosa, yang dijamin oleh kehidupan, kematian, dan kebangkitan Yesus. Kita
dibebaskan dari hukuman mati dan kuasa dosa tatkala menerima anugerah
pengampunan, hanya dengan percaya kepada Kristus.
|
Ketaatan: Menundukkan
kehendak diri kita dan membiarkan kehendak orang lain yang terjadi. Sudah
sepantasnya kita melakukan apa yang Tuhan kehendaki dalam hidup kita.
Risiko: Bahaya akan
kehilangan sesuatu. Kita harus taat kepada Kristus apa pun risiko yang harus
kita tanggung; namun kelak Dia akan mengganti lebih dari
kehilangan-kehilangan kita.
Memikul Salib: Bersedia menanggung
segala aniaya yang mungkin datang karena kita mengenal Kristus.
Kesetiaan: Bersumpah setia
kepada seseorang atau kepada suatu kepentingan. Pengikut Kristus harus berjanji
untuk setia penuh kepada Tuhan dan tujuan-tujuan-Nya.
Menjadi Serupa: Sebuah salinan,
model, atau replika. Sebagai orang-orang percaya, kita harus mengikuti
teladan Kristus, dan menjadi semakin serupa dengan Dia dalam sikap dan
perbuatan.
|
Sumber dari :Originally published in English under the
title What Does It Take to Follow Christ? By: Herb Vander Lugt dan Kurt De Haan
0 komentar:
Post a Comment